bab 9. Pamit

88 11 0
                                    

Tidak terasa waktu berjalan dengan cepat. Setelah enam bulan lamanya saya menjadi guru ekstrakurikuler mengaji, kini saya menjadi guru Agama. Saya menjadi guru Agama karena ada seorang guru yang mengajar pelajaran Agama yang pensiun. Saya sangat bersyukur karena diberikan kesempatan dan kepercayaan untuk menggantikan posisi tersebut. Dan, saya akan mulai mengajar nanti, saat semester genap dimuali. Karena saat ini sedang libur semester ganjil.

Dua minggu kemudian, di mana anak-anak sekolah sudah mulai masuk kembali ke sekolah. Saya melihat Rahma sudah masuk sekolah. Saya kira, dia masih berada di rumah beristirahat, memulihkan kesehatannya. Karena yang saya tahu, dia baru saja pulang dari rumah sakit, sekitar satu minggu yang lalu. Tetapi, saya merasa senang, mengetahui kalau perempuan itu sudah kembali beraktivitas seperti biasanya.

Bel telah berbunyi. Saya bersiap-siap untuk memasuki kelas yang akan saya ajar pagi ini. Sebenarnya, saya merasa gugup. Lebih gugup dari waktu saya menjadi guru ekstrakurikuler. Saya takut melakukan kesalahan di hari pertama saya mengajar kelas.

Saya sudah berada di depan kelas yang akan saya ajar. Saya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, sebelum saya masuk ke dalam kelas. Setelah itu, barulah saya melangkahkan kaki masuk ke dalam kelas. Ketika saya memasuki kelas, semua murid yang semula berisik menjadi terdiam.

"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh." Saya memberi salam.

"Wa'alaikum salam warrahmatullahi wabarakatuh," jawab semua murid bersamaan.

"Karena pak Mahdi sudah pensiun dari kegiatan mengajar. Jadi, mulai hari ini saya akan menggantikan posisi beliau untuk mengajar kalian, membagikan ilmu yang saya dapati dan saya miliki. Semoga bermanfaat untuk kalian semua," jelas saya. Siapa tahu ada yang merasa heran dan penasaran. "Nama saya Fahri Ramdani. Kalian bisa memanggil saya dengan nama pak Fahri atau pak Ramdan," lanjut saya. Saya melihat seluruh murid saya. Ada satu perempuan, tidak, tetapi dua. Mereka tercengang melihat keberadaan saya di kelasnya. Dua perempuan itu adalah Rahma dan teman sebangkunya, Yumna. Saya melihat kearah sepupu saya, Radit. Dengan wajahnya yang datar, saya yakin, kalau dia juga terkejut.

"Saya punya tata tertib sendiri untuk kelas yang saya ajar. Jadi, tolong kalian semua ikut berpartisipasi dan juga mentaati tata tertib yang akan saya berikan selama saya dikelas sebagai guru," kata saya lagi. "Sebelumnya, ada yang ingin ditanyakan ke saya?"

"Saya, pak." kata salah satu siswi yang duduk di bangku kedua. "Saya ingin bertanya. Pak Fahri, bapak sudah punya istri?" tanyanya. Saya menahan diri sebisa mungkin untuk tidak tertawa.

Dengan tenang, saya pun menjawab, "Saya belum memiliki istri. Tapi, saya sudah memiliki calonnya."

"Siapa calonnya, pak? Cantik, tidak? Atau ..., masih cantikan saya?" tanya salah satu siswi yang duduk di bangku depan, di depan siswi sebelumnya. Beberapa teman sekelasnya ada yang menyoraki atas perkataan siswi tersebut. Saya tersenyum.

"Mau saya kasih contoh seperti apa wanita yang akan saya jadikan istri?" Saya balik bertanya. Semua murid saya mengangguk kompak. "Rahma," jawab saya. Semua mata langsung tertuju pada Rahma.

"Seperti Rahma, pak?" tanya Yumna. Saya sedikit mengangguk. "Berarti lebih muda dari pak Ramdan, dong?" tanya Yumna lagi.

"Tapi, saya tidak tau wanita yang akan saya jadikan istri itu bersedia atau tidak. Saya sedikit tidak yakin," kata saya.

"Kalau wanita itu tidak bersedia. Saya bersedia, kok, jadi istri pak Fahri," kata siswi yang duduk dibangku depan, tadi. Jawaban dari siswi tersebut, lagi-lagi mendapatkan sorakan dari teman-temannya. Saya tersenyum untuk kedua kalinya.

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang