Pilihan Hati 2 - Bagian 1

73 3 0
                                    

Bagian 1. Lamaran Radit

Saya menjemput Radit di bandara. Selesai menyelesaikan studinya di luar negeri, dia memutuskan untuk kembali ke tanah air dan bekerja di sini. Saya pikir, dia akan menetap di sana beberapa tahun dan bekerja di sana karena Radit mendapatkan nilai IPK atau GPA yang cukup memuaskan.

Jika kalian bertanya apakah saya menghadiri acara wisudanya, tentu saja tidak. Saya ingin ke sana, tapi lagi-lagi Radit melarangnya dengan alasan takut merepotkan. Meskipun begitu, saya ikut senang mendengarnya dan keluarga saya merayakannya melalui panggilan vidio usai acara wisudanya selesai.

"Paman!" Radit melambaikan tangannya ke arah saya sembari tersenyum.

Saya membalas lambaian tangannya sembari tersenyum simpul.

Saya memeluk Radit. Selama kurang lebih dua tahun tidak bertemu dengannya secara langsung, sedikit membuat saya rindu. Tentu saja rindu. Karena Radit adalah sepupu saya yang paling dekat dengan saya.

Saya melepas pelukan. "Kamu baik-baik saja kan, selama di sana, Dit?"

"Alhamdulillah. Paman dan si kembar gimana kabarnya selama ini? Ibu dan ayah paman?"

"Alhamdulillah mereka semua kabarnya baik."

Saya mengajak Radit untuk segera pulang karena di rumah ibu saya sudah disiapkan acara liwetan untuk merayakan kelulusan Radit. Hanya keluarga kami saja. Selain itu, saya juga sudah memberi kejutan untuk Radit, yaitu mengundang orang tua kandungnya ke Jakarta. Sudah bertahun-tahun Radit tidak pulang ke kampung, pasti rindu.

***

Acara liwetan hanya diadakan untuk keluarga saja. Ada kakak perempuan saya beserta keluarga kecilnya, anak saya, kedua orang tua saya, dan kedua orang tua Radit.

Sesampai di rumah. Semua orang yang ada di sana satu per satu memeluk Radit sembari mengucapkan selamat. Kemudian, Radit memeluk ibunya dengan erat serta bapaknya yang ikut memeluk dari samping ibunya. Rasa haru dan bangga terpancar dimata kedua orang tuanya. Saat Radit lulus S1, kedua orang tuanya tidak bisa hadir karena ayahnya Radit jatuh sakit.

Acara berpelukan dengan rasa haru telah selesai. Kini waktunya kami makan bersama dilantai, di ruang keluarga. Saya memperhatikan keluarga besar saya satu per satu. Saya pun langsung membayangkan, seandainya Fariz dan Arum masih ada, lalu Rahma masih bersama saya, pasti rasanya sangat menyenangkan dan akan lebih ramai. Membayangkan saya dapat berkumpul bersama dengan mereka saja membuat saya sedih.

"Ayah," panggil anak saya yang laki-laki.

"Iya, sayang?"

"Jangan sedih," katanya.

Saya tersenyum sembari mengusap kepala anak saya. "Ayah tidak bersedih, ayah hanya sedang terharu saja. Sudah lama sekali keluarga kita tidak berkumpul seperti ini. Ada nenek, kakek, tante, lalu ada nenek Nira dan kakek Rudi," kata saya.

Anak saya mengangguk setuju dan tidak mau ambil pusing. Ya, namanya juga anak kecil.

***

"Paman," panggil Radit sambil duduk di samping saya.

Saya sedang duduk dibangku kayu panjang yang ada di teras rumah saya. Malam ini langitnya cukup cerah sehingga terlihat bintang-bintang yang bertaburan di langit dan bulannya pun terlihat sangat indah.

"Kenapa?"

"Paman masih mengharapkan Rahma?" tanya Radit tiba-tiba.

Saya sedikit terkejut saat mendengarnya. Meskipun begitu, anehnya saya tidak menjawabnya. Saya hanya terdiam.

Radit melihat ke langit malam. "Saat berada di sana, Radit melamar Rahma."

Saya yang sedang ikut menatap langit, langsung melihat ke arah Radit. Menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Saya benar-benar tercengang dibuatnya.

"Tapi sayangnya ditolak," lanjutnya.

Entah mengapa ada rasa sedikit lega dari diri saya setelah mengetahui Rahma menolak lamaran dari Radit.

"Tapi, Radit tidak akan menyerah." katanya sambil melihat ke arah saya. "Radit akan menunggunya. Radit percaya, suatu saat Rahma akan menerima Radit. Karena Radit percaya, bahwa Allah dapat membolak-balikkan hati hamba-Nya."

"Kenapa kamu memberitahu tentang ini ke paman?" tanya saya.

Radit mengangkat kedua bahunya. "Entah. Rasanya Radit ingin memberitahu paman saja," jawabnya.

Tidak lama kemudian, anak saya keluar sembari memanggil saya. Rupanya mereka sudah mengantuk dan ingin saya menemani mereka tidur. Saya berdiri dan pamit ke Radit untuk pergi ke kamar. Malam ini saya menginap di rumah orang tua saya.

Selain itu, pembicaraan singkat antara saya dengan Radit langsung terngiang-ngiang dipikiran saya. Perkataan Radit mengenai lamarannya selalu saja berputar di memori saya. Dan saya merasa gelisah. Rasa cemburu dan rasa ingin memilikinya yang selama ini saya pendam pun muncul begitu saja.

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang