bab 10. Kembali

76 9 0
                                    

Di hari keberangkatan saya, ibu saya tiba-tiba jatuh sakit. Kondisinya sangat parah. Dan, saat itu, ayah saya sedang tidak berada di rumah. Beliau sedang berada di luar kota. Di rumah hanya ada saya dan Fariz. Saya pun yang melihat kondisi ibu merasa khawatir. Meskipun ibu menyuruh saya untuk tetap berangkat, saya menolaknya. Saya tidak ingin meninggalkan ibu sendirian ketika sedang sakit. Terlebih lagi, Fariz sepertinya sedang banyak pekerjaan di kantornya.

"Cepat, bawa ibu ke mobil!" perintah Fariz sambil melangkah pergi ke luar rumah terlebih dulu. Saya pun langsung membopong ibu dan membawanya ke mobil. Fariz membukakan pintu mobil. Saya membaringkan ibu dibangku belakang.

"Masih ada waktu berapa jam lagi pesawat lo berangkat?" tanya Fariz saat sudah berada di dalam mobil. Saya duduk di samping Fariz. Fariz menyalakan mobilnya dan memundurkan mobilnya. Lalu, Fariz membawa mobilnya ke jalan menuju rumah sakit.

"Tiga puluh menit," jawab saya.

"Nggak keburu, dong?" katanya. "Gue turunin lo di depan gang, ya? Nanti lo lanjut naik taksi, ya?"

"Enggak perlu. Saya tidak akan berangkat. Ibu sedang sakit dan kondisinya parah," jawab saya.

"Tapi, itu kesempatan emas, Fahri. Dua tahun lo selalu ngelamar jadi dosen di universitas itu setiap kali ada kesempatan," kata Fariz.

"Masih ada kesempatan lainnya, Riz. Yang penting ibu sehat dulu," kata saya. Saya tidak ingin berdebat lagi. Fariz pun tidak mengatakan sepatah katapun lagi. Dia hanya menghela napas kasar.

***

Sesampainya di rumah sakit, ibu langsung ditangani oleh dokter. Fariz sedang mengurus administrasinya. Saya melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan saya. Sudah lebih dari satu jam dari waktu keberangkatan saya. Seseorang menepuk pundak saya. Saya menoleh dan mendapati Fariz. Dia telah selesai mengurusi administrasi untuk ibu.

"Kenapa? Lo nyesal?" tanyanya. Saya menggeleng. Dan, dia mengangguk. Kemudian, dokter yang menangani ibu tadi datang menemui kami berdua.

"Ada yang ingin saya bicarakan mengenai ibu kalian. Bisakah kita bicara di ruangan saya?" tanyanya. Kami berdua mengangguk. Dokter tersebut memimpin berjalan menuju ruangannya. Kami berdua mengikutinya dari belakang.

Sesampainya di ruangan, dokter menyuruh kami berdua untuk duduk. Jika dari yang saya perhatikan, sepetinya ada sesuatu yang serius dan penting akan dibicarakan oleh sang dokter.

"Dari hasil pemeriksaan keseluruhan, saya menemukan sebuah benjolan yang terdapat dipayudara ibu kalian. Ukuran dari benjolan yang saya lihat, seperti biji jagung." Dokter menjelaskannya sambil memperlihatkan layar monitor hasil CT Scan pada kami.

"Lalu, dok?" tanya Fariz.

"Benjolan itu merupakan tumor. Bukan tumor ganas, jadi tidak berbahaya. Tapi, tetap harus dilakukan operasi supaya tidak membesar dan menyebar," lanjut dokter menjelaskan.

"Jadi, ibu kami butuh di operasi, dok?" tanya Fariz. Dokter mengangguk.

"Untuk melakukan operasi, kami butuh persetujuan dari keluarga pasien.

"Lakukan operasi untuk ibu saya dok, secepatnya!" ucap Fariz.

"Kalau begitu, tolong isi surat pernyataan persetujuan operasi dan tolong ditanda tangani juga oleh wali pasien," kata dokter.

"Saya walinya," kata Fariz. Lalu, Fariz menandatangani surat pernyataan tersebut.

***

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang