Bagian 4. Salahkah Menginginkannya Kembali?
Saya sangat terkejut melihat kehadiran Rahma yang telah berada di rumah saya, tepatnya di halaman rumah. Saya sangat-sangat terkejut, terlebih lagi mengingat kejadian semalam, di mana saya telah membuat wanita itu menangis untuk kesekian kalinya karena kesalahan saya yang mengungkit masa lalu.
"Saya titip si kembar, ya?" pertanyaan Radit pada Rahma membuat saya langsung menatapnya dengan tatapan tajam, dan saya langsung melihat ke arah Rahma dengan perasaan bersalah.
"Tidak perlu, Rahma. Saya akan mengantar anak-anak ke rumah kakek dan neneknya," ucap saya.
"Bisa kan, Rahma?" Radit bertanya lagi pada Rahma.
"Iya, bisa."
Bodoh. Saya merutuki sikap Rahma yang merasa tidak enakan. Seharusnya dia bisa menolak menjaga anak-anak dari mantan suaminya yang telah menyakiti hatinya. Dan jujur saya lebih marah dengan sikap Radit yang memutuskan anak-anak saya dijaga oleh Rahma. Padahal Radit tahu, bagaimana hubungan saya dengan Rahma tidak baik-baik saja.
Tidak lama kemudian, anak kembar saya keluar dari dalam rumah untuk berpamitan dengan saya dan juga Radit. Saya memperhatikan Rahma yang tersenyum hangat menyambut kedua anak saya. Seketika saya lupa dengan amarah saya, dan dari lubuk hati saya muncul perasaan menginginkan Rahma dekat dengan anak-anak saya, begitu juga saya ingin anak-anak saya kenal dan dekat dengan Rahma.
"Tolong jaga si kembar, ya?" ucap Radit pada Rahma sebelum pergi ke mobil.
Saya dengan perasaan yang bercampur aduk. Berpamitan dengan Rahma dan memintanya menjaga anak saya. Sebenarnya, kakek dan neneknya sedang pergi ke rumah saudaranya yang berada di Jawa Tengah dan menginap selama tiga hari. Saya tidak tega jika kedua anak saya ikut dengan orang tua saya, takut merepotkan. Dan perlu diketahui, Rahma hanya menjaga anak-anak saya hanya hari ini. Karena besok akan ada yang menjaganya, bi Sumi, hari ini dia sedang sakit.
***
"Apa maksud kamu Dit, menyuruh Rahma menjaga anak saya?" protes saya ketika sudah berada di mobil.
Radit melajukan mobilnya dan membawanya keluar dari halaman rumah menuju jalan besar.
"Tidak ada maksud apa-apa, paman."
"Walaupun kamu tau hubungan saya dengan Rahma tidak baik-baik saja?"
Radit menghela napas berat. Dia melihat ke arah saya, lalu melihat ke arah jalan yang ada di depan lagi. "Saya memberikan kesempatan untuk paman memperbaiki hubungan paman dengan Rahma. Tolong selesaikan semuanya dengan baik-baik hari ini. Jika Rahma menolak, tolong jangan memaksanya."
Saya terdiam untuk sesaat. "Salahkah jika saya menginginkannya kembali, meskipun terlambat?" ucap saya dengan lirih pada Radit. Saya yakin, dia masih bisa mendengarnya dengan jelas.
Sekali lagi, Radit menghela napas berat. "Tidak salah, paman. Hanya saja, keputusannya sekarang berada di Rahma. Jika dia ingin bersama orang lain, yang lebih baik dari masa lalunya, kita terima saja dan mulai melupakannya. Rahma berhak bahagia, paman. Jangan mengusik kehidupannya lagi, paman, ya?" nada bicara Radit terdengar sedikit memohon. Mungkin dia telah lelah dan muak melihat hubungan saya dengan Rahma yang masih berada di sebuah lingkaran, jadi terus berputar-putar di situ saja.
Saya terdiam. Saya dengan penuh kesadaran, menyadari sikap saya salah. Sangat salah. Seolah-olah saya terobsesi dengan Rahma. Dan ya, saya akui, saya sekarang telah menjadi obsesi dengannya. Sikap saya yang sekarang ini sangat perlu dihilangkan dan tak patut di contoh. Dulu saya tidak seperti ini. Saya tidak tahu mengapa, tapi saya juga frustasi. Saya merasa, bahwa tidak ada lagi yang bisa menerima saya selain Rahma.
Saya beristighfar sebanyak tiga kali. Berharap bisa mengontrol emosi saya. Dan tidak saya sadari, saya telah sampai di depan gerbang sekolah, tempat saya mengajar. Sebelum turun, saya berterima kasih pada Radit karena telah memberi saya tumpangan gratis.
***
Saya kira, sepulang mengajar dan sampai di rumah, Rahma telah pulang ke rumah. Nyatanya, tidak. Dari memasuki ruang tamu ke ruang keluarga, saya dapat mencium aroma masakan. Anak-anak muncul dari ruang makan untuk menyambut kedatangan saya. Anak-anak saya menuntun saya menuju ruang makan. Saya melihat, lauk pauk dan nasi telah dihidangkan di atas meja makan.
"Kamu masih di sini, Rahma?" tanya saya.
"Iya, ayah. Tante Rahma yang masak ini semua untuk kita makan siang," jawab Alfi, anak saya.
Saya tersenyum. "Terima kasih, Rahma." kata saya padanya.
"Kalau begitu, saya pamit pulang dulu, pak."
Ara, anak perempuan saya tiba-tiba menghampiri Rahma dan menahannya untuk tidak pergi. "Kita makan siang bersama ya, Tante Rahma?" ucapnya.
Rahma melihat ke arah saya. "Lain kali ya, Ara. Nanti Tante traktir kamu es krim, ya?"
"Tidak apa-apa, Rahma. sudah waktunya makan siang juga, kamu pasti lapar. Kita makan bersama dulu aja," kata saya.
"Iya, Tante. Yuk, makan bareng Ara sama kak Alfi?"
"Baiklah."
Saya duduk di bangku saya, di sebelah kanan saya ada kedua anak saya dan di sebelah kiri saya, ada Rahma. Kami berempat memulai makan siang kami dengan tenang. Sesekali anak saya bercerita mengenai kegiatannya hari ini bersama dengan Rahma. Alfi bercerita dengan semangat, bahwa hari ini dia pergi berbelanja di pasar. Saya tersenyum dan tertawa ketika ada hal lucu yang di sampaikan oleh kedua anak saya. Sesekali saya melirik ke arah Rahma yang tersipu malu karena kedua anak saya yang selalu memuji dirinya.
Mungkin saya yang terbawa suasana, tiba-tiba saya menitikkan air mata. Saya buru-buru menghapusnya, saya tidak ingin kedua anak saya dan Rahma melihatnya. Dari lubuk hati saya, saya sangat senang sekali melihat kedua anak saya telah akrab dengan Rahma. Dan perasaan menginginkannya kembali menjadi pendamping hidup saya, muncul kembali.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan Hati
Espiritual[Pilihan Hati season 1 SELESAI] [Pilihan Hati season 2 on going] *** Karena kamu adalah pilihan hati saya. -Fahri Muhammad Ramdan *** DON'T COPY MY STORIES, PLEASE! Copy Right April 2020 dan 8 Oktober 2023 @egy_rosmawati Ditulis dengan nama pena: am...