Bab 19. Rahma [1]

248 18 1
                                    

Sore hari, ibu menghubungi saya dan meminta saya untuk datang ke rumahnya bersama dengan Rahma juga Arum. Tidak lama setelah mengakhiri panggilan dengan ibu di telepon, saya dan Arum bersiap-siap pergi ke rumah ibu. Tapi, sebelum itu, saya menghubungi Rahma untuk memberitahunya. Panggilan saya berakhir begitu saja dengan Rahma yang tidak menjawabnya. Saya mencoba menghubunginya lagi, dan berakhir gagal. Saya pun mengiriminya sebuah pesan WhatsApp.

Rahma:

Dmna? Masih kumpul sama Sifa?
Ibu meminta kita dtg krmh nya.
Kamu gk krmh ibu?
Knpa gk di angkat?
Apa ada masalah?

"Fahri, ayo?" Arum sudah selesai bersiap. Saya menatap ruang obrolan saya dengan Rahma. Masih centang dua dan belum berubah menjadi biru. "Rahma tidak bisa di hubungi?" tanya Arum.

Saya menggeleng. "Ayo, kita berangkat!" kata saya. Arum mengangguk.

***

Saya dan Arum sudah tiba di rumah ibu. Ibu menyambut kedatangan saya dengan Arum seperti biasa, dengan hangat. Ketika kami sudah berada di dalam rumah, ibu bertanya, "Di mana Rahma?"

"Rahma, masih ada tugas di kampusnya, bu," jawab saya.

Ibu mengangguk. "Kalau gitu, Arum, bisa bantu ibu masak untuk makan malam nanti?" tanya ibu ke Arum.

"Bu, Arum sedang hamil. Kandungannya ...,"

"Tidak apa. Ayo, bu. Arum bantu," ucap Arum memotong perkataan saya. Keduanya pun pergi ke dapur.

Saya melihat ke arah pintu. Lalu, saya melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan saya. Rahma masih belum sampai. Saya pun membuka ruang obrolan saya di aplikasi WhatsApp. Pesan saya sudah dibaca olehnya.

Dua jam telah berlalu. Waktu maghrib telah usai empat puluh lima menit yang lalu. Sebentar lagi menuju waktu isya. Namun, Rahma masih belum datang juga. Saya pun pergi ke teras rumah. Menunggu kedatangan Rahma di sana. Tidak lama kemudian, saya melihat Rahma datang. Saya menghela napas lega. Saya pikir, sesuatu telah terjadi padanya.

Rahma memberi salam pada saya dan menyalimi punggung tangan saya seperti biasa. Lalu, ia menundukkan wajahnya. Saya menyentuh dagunya dan mengangkat wajahnya dengan lembut. Saya menatap wajahnya dengan lekat.

Apa Rahma masih takut dengan saya? Batin saya. Karena ketika saya menatapnya, Rahma mengalihkan tatapannya ke arah yang lain. Seakan tidak berani menatap saya. Padahal, saya tidak akan memarahinya.

Saya tersenyum. "Sudah shalat maghrib?" tanya saya. Rahma mengangguk. "Ya udah. Ayo, masuk!" Saya merangkulnya dan menuntunnya masuk ke dalam. Entah mengapa, saya merasa ada yang salah dengan Rahma hari ini.

***

Saya mengetuk pintu kamar saya yang dijadikan tempat Rahma tidur. Malam ini, kami akan menginap di rumah ibu. "Rahma, ini saya Ramdan," ucap saya. Setelah diizinkan masuk, saya masuk ke dalam dan menutup pintunya lagi. Saya melihat Rahma sedang duduk di lantai sambil memeluk kedua kakinya dan pandangannya lurus ke depan, menatap dinding. Saya ikut duduk di lantai, di sampingnya.

"Kenapa kamu tidak membalas pesan saya? Kamu juga tidak mengangkat telepon dari saya. Apa kamu marah dengan saya?" tanya saya sambil menatap sisi wajahnya.

Rahma tidak menjawab saya.

"Rahma?" panggil saya sambil memegang bahunya.

"Ya?" Barulah Rahma menoleh ke arah saya.

"Kamu kenapa? Ada masalah apa?" tanya saya. "Cerita sama saya."

"Bisakah pak Ramdan izinkan Rahma untuk pergi sementara dari hidup pak Ramdan?" Saya terkejut mendengar perkataan Rahma. Terlebih lagi, Rahma kembali memanggil saya dengan 'pak', bukan 'mas'.

"Rahma? Apa maksud kamu?"

"Rahma ... Rahma ingin pergi menjauh dari pak Ramdan. Pak Ramdan akan mengizinkannya, kan?" katanya.

Saya mengerutkan kening saya. "Tapi, ada apa? Pergi ke mana?" tanya saya. "Apa maksud kamu, kamu mau pergi dari kehidupan saya karena sudah tidak ingin hidup bersama saya lagi? Apa kamu sudah tidak mencintai saya lagi?" Saya memberikan begitu banyak pertanyaan pada Rahma karena saya tidak mengerti, mengapa Rahma tiba-tiba mengajukan pertanyaan seperti itu.

Rahma tidak menjawab. Dia memalingkan wajahnya dari saya. Kembali menatap lurus ke depan.

"Apa saya melakukan kesalahan yang sangat fatal, Rahma? Atau, apa kamu kecewa karena belakangan ini saya lebih perhatian pada Arum?" Rahma tertunduk. "Kamu kan, tau sendiri, Rahma. Kandungan Arum lemah, harus dijaga dengan baik. Saya tidak ingin Arum kehilangan bayinya karena saya yang tidak bisa membantu menjaganya. Selain itu, bayi yang ada dikandungan Arum itu juga bayi saya, Rahma. Saya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada bayi saya, anak saya. Kalau sesuatu yang buruk sampai terjadi, saya tidak akan pernah memaafkan diri saya. Saya tidak ingin kehilangan bayi itu!"

Rahma menenggelamkan wajahnya di kedua kakinya. Saya melihat bahu Rahma bergetar, dan saya mendengar isakan. Rahma menangis.

Saya tiba-tiba merasa bersalah padanya. "Maafkan saya, Rahma. Saya sudah menyakiti hatimu untuk yang kesekian kalinya. Tapi, Rahma. Saya mohon, jangan bersikap seperti anak kecil begini. Kamu boleh cemburu dengan Arum, tetapi lihat bagaimana kondisinya terlebih dahulu," kata saya.

Rahma mengangkat wajahnya dan menatap saya. "Saya memang masih kecil, pak. Saya menikah masih di usia belasan tahun. Lalu, kalau saya cemburu, apa itu salah sikap saya karena yang ke kanak-kanakan?" katanya. "Selama ini saya sudah bersikap dewasa, dan memakluminya. Tapi, pak Ramdan menganggap rasa cemburu saya sebagai sikap ke kanak-kanakan. Saya seorang perempuan, saya punya perasaan. Wajar saya bersikap cemburu," katanya lagi. "Lagi pula, selama ini pak Ramdan menganggap saya sebagai anak kecil, kan? Semenjak ada Bu Arum, pak Ramdan juga berubah. Kalian berdua menganggap saya sebagai adik. Bahkan pernah menganggap keberadaan saya tidak ada."

Saya terdiam. Baru kali ini saya mendengar Rahma mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya. Rahma tidak pernah marah pada saya, begitu juga sebaliknya. Tapi, kali ini. Saya benar-benar membuatnya kecewa sampai dia mengungkapkan perasaan yang dia rasakan selama ini.

Karena suasana hati saya dan Rahma sedang buruk. Saya memilih mengalah. Saya keluar dari kamar, dan menutup pintunya. Saya tidak ingin memperparah keadaan. Rahma butuh waktu sendiri, begitu juga saya. Saya harus mendinginkan kepala saya. Rahma tidak sepenuhnya salah, dia benar. Saya telah berubah. Meskipun begitu, hati saya tidak pernah berubah untuk Rahma. Tapi, saya tidak tahu. Apa yang dirasakan oleh saya, berbeda dengan yang dirasakan oleh Rahma.

Dari belakang saya, seseorang menyentuh bahu saya. Saya menoleh dan mendapati ibu. "Ramdan pikir siapa, hehe."

"Nak," kata ibu memanggil saya. Jika ibu sudah memanggil saya seperti itu, pasti ibu mengatakan hal yang penting dan serius. "Maaf, ibu tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian berdua. Tapi, nak. Jangan marah pada Rahma, nak. Rahma hanya sedang sensitif saja hari ini. Karena dia sedang ...,"

"Ramdan tidak marah pada Rahma, bu," kata saya memotong ucapan ibu. "Ramdan minta maaf karena telah memotong perkataan ibu. Ramdan ke kamar dulu, ya? Mau istirahat. Hari ini lelah sekali," lanjut saya.

Ibu mengangguk. "Beristirahatlah, nak," katanya. Saya pun masuk ke dalam kamar Fariz, kamar yang dijadikan tempat untuk Arum tidur jika sedang menginap di rumah ibu.

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang