Pilihan Hati 2 - Bagian 3

71 5 0
                                    

Bagian 3. Tidak Semudah yang Diucapkan

Malam itu, setelah dari resepsi pernikahan Zaki dan Yumna di kediaman mempelai wanita. Saya beserta keluarga, mampir ke rumah keluarga Rahma. Sekitar jam delapan malam. Saat itu, Rahma belum ikut pulang dengan kedua orang tuanya dari acara pernikahan Zaki. Padahal, acara sudah selesai satu jam yang lalu.

Tiga puluh menit berlalu, orang tua saya pamit pulang duluan dengan kedua orang tua Rahma. Sedangkan saya, saya masih berada di rumahnya berniat menunggunya pulang. Untung saja kedua orang tua Rahma masih mengizinkan saya tinggal di sana untuk bertemu dengan putrinya.

Saya tahu, saya tidak boleh merasa senang seperti ini. Dan saya tidak boleh memanfaatkan kebaikan mereka. Karena saya tahu, saya telah memberikan rasa sakit pada putri mereka.

Saya melihat lampu mobil menyala dari depan pintu gerbang. Saya yang sedang duduk dibangku teras pun berdiri dan berjalan menuju gerbang. Saya mendengar suara Rahma sedang berpamitan dengan suara yang sangat saya kenali, suara Radit. Ya, dari balik gerbang saya sedang menguping. Tak lama kemudian, terdengar suara mobil pergi. Saya keluar dan menemui Rahma yang masih berdiri di tempatnya. Rahma terlihat terkejut melihat kehadiran saya di rumahnya.

"Pak Ramdan sedang apa di rumah umi?" tanya Rahma.

"Silaturahmi," jawab saya dengan singkat. "Sejak kapan kamu dan Radit menjadi dekat?"

"Pak Ramdan, Rahma masuk dulu ke dalam, ya? Pak Ramdan mau ketemu sama Abi, kan? Masuk saja, Abi ada di dalam. Nanti Rahma panggilkan," katanya, untuk menghindari topik pembicaraan tentang kedekatannya dengan Radit.

"Saya ingin bicara dengan kamu."

"Sudah malam, pak." jawabnya sembari berpaling dari saya.

Saya segera menggenggam tangannya, bermaksud untuk mencegahnya pergi dari hadapan saya. " Saya hanya ingin bicara dengan kamu. Apa tidak bisa?"

Rahma melihat tangannya yang masih saya genggam. "Saya minta maaf karena sudah lancang," ucap saya.

"Iya."

"Saya tau, saya tidak berhak mengatakan ini ke kamu. Namun, saya akan tetap mengatakannya. Mengapa kamu menghindari saya, Rahma? Apa kamu tidak bisa bersikap biasa saja ketika bertemu dengan saya?" Saya melihat mata Rahma yang berkaca-kaca. Namun, saya tidak menghiraukannya. "Empat tahun. Apa tidak cukup untuk menghindari saya, Rahma?"

Dia menunduk.

"Sudah malam, pak. Tidak baik malam-malam sedang berdua dengan yang bukan mahramnya," katanya dengan suara yang terdengar bergetar. "Saya juga lelah. Saya sedang tidak ingin membahas masa lalu."

Saya terdiam.

Saya diam-diam menghela napas panjang. Saya tahu, saya tidak boleh membahas tentang masa lalu lagi yang akan membuatnya membuka luka lama. Tetapi, saya ingin membahas hal ini sejak lama. Rasanya saya belum ikhlas dengan perpisahan ini. Saya ingin kembali hidup bersama dengannya. Apa tidak bisa?

Ya, memang awal-awal kami berpisah saya hanya bisa diam dan menerimanya karena saya tahu, bahwa saya telah bersalah. Saya bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa pada Rahma waktu itu dan mencoba mengikhlaskannya. Tapi nyatanya, tidak semudah yang diucapkan. Hati saya, dari lubuk hati saya, saya belum bisa mengikhlaskannya. Saya ingin memperjuangkannya kembali. Apa tidak boleh?

"Bagaimana aku bisa bersikap biasa saja, mas Ramdan?" ucapnya pelan sambil sesenggukan.

Ketika melihatnya menangis. Saya ingin memeluknya. Namun, tidak bisa. Saya bukan lagi suaminya. Saat menjadi suaminya dulu pun, saya tidak bisa memeluknya karena rasa bersalah saya yang begitu besar terhadap wanita yang ada di depan saya. Sudah berapa kali saya telah membuatnya menangis seperti ini?

Ramdan, apa tidak cukup bagi kamu untuk menyakiti dan membuat wanita yang katanya 'kau sayangi' menangis sesenggukan seperti ini? Kamu hanya bisa mengatakan kata maaf beribu-ribu kali, tapi kau selalu ulangi kesalahan yang sama, yaitu membuatnya membuka luka lama dan menangis. Saya merutuki kebodohan saya karena ego saya sendiri.

***

"Paman baru pulang jam segini? Dari rumah Rahma?" tanya Radit yang sedang berbaring di sofa panjang depan televisi.

"Kamu tau dari mana?"

"Ibunya paman. Tadi Radit jemput si kembar dulu sebelum pulang di suruh ibu, katanya paman masih di rumah Rahma." jawabnya sambil mengubah posisinya menjadi duduk.

Saya duduk di samping Radit sembari menghela napas.

"Jangan membuka luka lama untuk Rahma, paman. Untuk apa paman membuka luka lama dan membuatnya menangis? Bukan begitu caranya memperjuangan seorang wanita," katanya sok bijak.

"Kamu masih suka sama Rahma, Dit?"

"Kalau masih bagaimana?" jawabnya sambil melihat ke arah saya dan menatap saya dengan tatapan yang menyebalkan menurut saya.

Saya tersenyum kecut. "Bagaimana saya bisa bersaing dengan sepupu saya seperti kamu?"

Radit tertawa. "Bilang saja paman tidak berani bersaing dengan Radit. Tapi paman, yang menyukai Rahma banyak. Namun, yang berjuang dengan cara jalur langit itu sedikit."

"Jadi, kamu berjuang dengan cara lewat jalur langit?" tanya saya. Radit tersenyum sembari mengangguk. "Jadi, ceritanya saya telah kalah satu langkah dari kamu?"

"Bisa dikatakan seperti itu," jawabnya. Lalu, kami tertawa. Saya tidak menyangka akan membahas tentang mendoakan seseorang atau memperjuangkan seseorang secara diam-diam melalui jalur langit, apalagi dengan sepupu saya yang usianya lebih muda dari saya dan bisa dikatakan sebagai saingan saya.

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang