bab 8. Menjadi Pendengarnya

81 13 0
                                    

Pagi-pagi sekali Zaki pergi ke kantornya. Katanya, ada sesuatu yang perlu diurus. Saya melihat kearah bangsal yang terdapat Rahma sedang berbaring dengan kedua mata yang terpejam. Dia masih tertidur. Saya pun berinisiatif untuk membaca Al-Qur'an. Saya mengangkat bangku, memindahkannya ke dekat bangsal Rahma. Saya sengaja mengangkat, tidak menariknya, supaya Rahma tidak merasa terusik dan terbangun.

Saya mengeluarkan Al-Qur'an milik saya dari dalam tas, kemudian saya duduk dibangku. Saya membuka surat Al-Mulk. Dengan membaca ta'audz dan basmalah, saya mulai membaca surat Al-Mulk.

Sesekali saya melihat kearah bangsal, untuk memastikan Rahma masih tertidur. Tidak terganggu dengan suara mengaji saya. Saya kembali membacanya, saat sudah membaca tiga surat dari surat Al-Mulk. Saya melihat kearah bangsal Rahma, dan ketika saya lihat, Rahma sudah terbangun. Dia langsung memalingkan wajahnya.

"Kamu sudah bangun, Rahma?" tanya saya. Kemudian, saya melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan saya. Sudah pukul sembilan pagi.

"Di mana kak Zaki?" tanya Rahma sambil melihat ke sekeliling.

"Dia ke kantor. Katanya, ada yang harus diurus," jawab saya. Dia mengangguk. Saya menyudahi mengaji saya. Saya menutup Al-Qur'an saya dan menaruhnya di atas nakas, yang ada di dekat bangsal Rahma bagian atas. "Oh iya, Rahma. Nanti, ibu dan Fariz akan datang menjenguk kamu. Tidak apa-apa, kan?" tanya saya.

Dia mengangguk. "Tentu saja tidak apa-apa. Saya malah merasa senang," jawabnya.

"Mungkin, sekitar tiga puluh menit mereka akan tiba," kata saya.

"Pak ustadz," panggilnya. Saya berdehem. "Pak ustadz tidak pergi mengajar?" tanyanya.

"Saya izin," jawabku. "Oh iya, Yumna tadi menghubungi saya, karena ponselmu tidak aktif, dan dia tidak tau nomor Zaki," kata saya.

Melihat Rahma terdiam, membuat saya khawatir. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu. Saya pun bertanya, "Apa yang sedang kamu pikirkan, Rahma?" tanya saya.

"Saya memikirkan ummi. Sejak kemarin, saya belum menghubunginya. Terakhir kali, saat ba'dha ashar kemarin, sebelum kejadian itu," jawabnya.

Saya memgeluarkan handphone milik saya dari dalam saku. Saya memberikan handphone saya ke Rahma. Dia menatap saya dengan tatapan bingung. "Gunakan ponsel saya untuk menghubungi ummi kamu. Ummi dan abi kamu pasti merasa khawatir. Zaki juga belum berani mengaktifkan ponselnya dari kemarin," jelas saya. Rahma sudah mengambil handphone saya. Namun, dia masih belum menghubungi orang tuanya. Dia nampak ragu.

"Ada apa?" tanya saya. Rahma menggeleng, lalu mengembalikan handphone saya ke saya. "Kenapa?" tanya saya lagi.

"Saya takut. Saya tidak berani menelepon mereka," jelasnya.

Saya duduk dibangku yang sebelumnya saya duduki. Saya menatap Rahma yang masih berbaring dibangsalnya. "Rahma," panggil saya.

"Ya?"

"Jangan simpan rasa sakit itu sendirian. Jika kamu merasa tidak keberatan, kamu bisa membaginya dengan saya. Ceritakan saja ke saya," kata saya dengan hati-hati dan penuh pengertian. Saya tidak ingin dia merasa terbebani, dan saya merasa tidak masalah jika dia tidak ingin menceritakannya ke saya. "Saya tidak akan memaksanya jika kamu tidak ingin," sambung saya.

"Awalnya, saya mengira suara berisik itu berasal dari kak Zaki yang baru saja pulang bekerja. Saya keluar dari kamar dan menuruni anak tangga ke lantai bawah. Saat saya sudah berada di ruang tengah, yang saya lihat bukanlah kak Zaki, melainkam dua orang pencuri. Yang saya lihat dari balik penutup mulut keduanya, satu pencuri terlihat sudah tua, yang satu lagi masih muda, mungkin sebaya dengan pak Ramdan." Saya tidak menyangka Rahma akan menceritakan kejadian yang menimpanya kemarin. Padahal, saya tidak berharap Rahma akan menceritakannya, kalau memang itu terasa berat untuknya bercerita ke saya.

"Pencuri yang masih muda itu melihat saya dan menahan saya. Pencuri yang lebih tuanya lagi memiliki kesempatan untuk pergi ke kamar atas. Sekembalinya pencuri tua dari kamar atas, pencuri yang lebih mudanya itu mengikat kedua tangan saya dengan tali, kemudian saya di bopong dan ditidurkan disofa panjang ...," Rahma berhenti sejenak dan menarik napas panjang.

"Kalau kamu tidak sanggup untuk menceritakan kelanjutannya, tidak usah dilanjutkan, Rahma. Kamu bisa berhenti, saya tidak memaksa," ujar saya. Saya tidak tega melihat Rahma menjadi sedih kembali gara-gara menceritakan kejadian kemarin, yang akhirnya membuat dia teringat lagi dengan kejadian buruk yang menimpanya.

"Lalu ...." Rahma terdiam. Dia tidak bisa melanjutkan ceritanya dan menangis terisak sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Saya bingung harus melakukan apa ketika Rahma menangis. Tidak mungkin saya memeluknya, karena bukan mahramnya saya. "Jangan menangis, Rahma. Saya tidak ingin orang-orang di luar dan Zaki menjadi salahpaham," ujar saya. Rahma masih menangis, dan saya semakin bingung.

"Kalau Zaki tau saya telah membuat adiknya menangis begini, bisa-bisa Zaki menghajar wajah saya. Saya tidak ingin membuat wajah tampan saya ini terluka dan ada warna biru-birunya," kata saya dengan narsis, saya berusaha untuk membuat Rahma berhenti menangis. Lalu, saya mendengar suara kekehan. Suara itu berasal dari Rahma. Saya tersenyum. Senang melihat Rahma sudah tidak menangis lagi, walaupun masih ada sisa-sia air mata dipipinya.

"Saya baru tau kalau pak ustadz Ramdan narsis juga," katanya sambil mengusap air matanya dengan punggung tangannya.

"Itu karena saya berusaha untuk menghibur kamu," aku saya.

Rahma tersenyum. "Terimakasih, pak. Karena sudah berusaha menghibur saya," katanya.

"Tapi, saya tidak berbohong mengenai Zaki yang akan menghajar saya ketika tau adiknya dibuat menangis. Zaki sangat menyayangi kamu. Kamu sangat beruntung memiliki kakak seperti Zaki," ucap saya. Rahma mengangguk. Dia setuju dengan perkataan saya yang menyatakan, bahwa Zaki sangat menyayangi adiknya.

"Keluarga pak ustadz Ramdan juga beruntung, karena memiliki anak seperti pak ustadz dan saudara kembar pak ustadz. Pasti nanti, yang jadi istrinya pak ustadz juga beruntung karena memiliki suami seperti pak ustadz," tuturnya.

"Walaupun sikap saya cuek, tampang wajah datar, dan sedikit kaku?" tanya saya.

"Pak ustadz seperti itu karena pak ustadz hanya ingin menjaga sesuatu yang harus di jaga oleh pak utadz. Menjalankan perintah-Nya, menjauhkan larangan-Nya. Saya tau setiap manusia tidak ada yang sempurna dan kadang suka khilaf. Malah sering khilaf. Tapi, bukan berarti manusia tidak berusaha untuk menjalankan perintah-Nya."

Ustadz Ramdan mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Lalu, apa maksud kamu dengan menjaga sesuatu yang harus saya jaga?"

"Menjaga hati untuk seseorang yang pak ustadz cintai. Pak ustadz ingin cinta pak ustadz ke perempuan itu suci dan diridhai oleh Allah. Pak ustadz tidak ingin cinta yang dimiliki pak ustadz ke perempuan itu melebihkan cinta kepada-Nya. Pak ustadz juga ingin cintanya seperti Ali dan Fatimah, bukan begitu?" Saya tertegun mendengar penuturan yang diberikan oleh Rahma. Selanjutnya, saya pun tersenyum. Saya tidak marah mendengar perkataan Rahma, saya malah senang mendengarnya.

Tidak lama kemudian, pintu kamar inap Rahma, terbuka. Ibu saya dan Fariz sudah datang. Ibu langsung pergi meneluk Rahma. Saya berdiri dari duduk dan sedikit menjauh dari bangsal Rahma, memberikan ruang untuk Fariz.

"Kok, lo cuma berduaan sama Rahma?" bisik Fariz tepat ditelinga saya.

"Zaki pergi ke kantornya, ada urusan, katanya." Dia mengangguk-angguk.

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang