Pilihan Hati 2 - Prolog

111 6 0
                                    

Prolog

Dua minggu kemudian, Ardi pulang ke tempat tinggalnya, yaitu di luar negeri bersama dengan pamannya. Selain itu, Radit memberitahu saya secara tiba-tiba bahwa besok dia akan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan studinya. Perasaan gelisah pun muncul begitu saja, saya mulai memikirkan tentang Radit yang akan bertemu dengan Rahma bahkan satu universitas. Saya merasa gelisah karena telah mendengar ungkapan isi hati Radit yang sesungguhnya terhadap Rahma.

Saya mengantar keberangkatan Radit ke bandara. Saya hanya berdua dengan Radit. Kedua orang tua saya tidak ikut karena Radit melarangnya. Selain itu, ada sebuah harapan di hati saya supaya bisa bertemu dengan Rahma di bandara hari ini.

"Paman," panggil Radit.

"Iya?"

"Sedang berharap dapat bertemu dengan Rahma, ya?"

Saya terdiam.

Radit tersenyum. "Rahma sudah berangkat kemarin," katanya.

Saya tidak tahu harus berkata apa lagi. Saya ingin bertanya bagaimana dia bisa tahu mengenai hari keberangkatan Rahma. Apa selama ini mereka berdua masih menjalin komunikasi?

"Kamu di sana hati-hati. Jaga sikap kamu di negara orang. Kalau kamu merasa lelah, istirahat, jangan dipaksain. Jangan lupa juga ibadahnya. Itu yang terpenting!" kata saya memberi nasihat.

Radit tersenyum. "Terima kasih paman karena sudah khawatir dengan Radit," katanya.

Saya menepuk-nepuk bahunya. Saya memandangi punggung Radit yang mulai berjalan menjauh dari pandangan saya. Saya hanya bisa mengantarnya sampai depan pintu masuk bandara saja. Radit tidak ingin saya mengantarnya lebih dari itu.

***


Tidak terasa delapan bulan telah berlalu begitu saja. Saya tetap menjalani aktivitas sehari-hari saya sebagai seorang guru, mengajar di sekolah lama, tempat pertama kali saya bertemu dengan Rahma. Jika mengingat pertemuan kami, membuat saya senyum-senyum sendiri. Rasanya baru kemarin saya mengenal gadis kecil saya yang beranjak remaja kemudian dewasa.

Selama saya sibuk mengajar, si kembar, saya titipkan pada neneknya. Ibu saya yang menjaga keduanya saat saya bekerja. Setelah saya selesai mengajar, saya menjemput anak saya dan membawanya pulang ke rumah kami. Saya melakukan dua peran, menjadi ayah dan menjadi seorang ibu. Namun, seberusaha apapun saya untuk melakukan peran seorang ibu untuk anak saya, susah sekali, rasanya masih ada saja yang kurang. Tetap saja saya merasa bahwa anak-anak saya membutuhkan peran ibu yang sesungguhnya. Tapi anehnya, mengapa seorang ibu dapat melakukan kedua peran dengan mudahnya?

Setiap dua minggu sekali, ketika malam hari saya menyempatkan waktu saya melakukan panggilan video dengan Radit di ruang kerja saya. Saya bersyukur dia terlihat baik-baik saja di sana. Jadi, selama delapan bulan itu saya selalu melakukan panggilan video dengan Radit, menanyakan tentang kabarnya dan perkuliahan di sana.

"Paman, Radit ingin bertanya," katanya melalui panggilan video.

"Apa?"

"Selama ini, paman tidak pernah bertanya tentang Rahma. Apa paman tidak penasaran dengannya? Terlebih lagi telah mengetahui kalau Radit satu universitas dan satu fakultas," katanya.

Saya terdiam. Sejujurnya, saya ingin sekali tahu kabar tentang Rahma selama ini. Tetapi, saya berusaha menahannya supaya tidak bertanya perihal gadis itu. Rasanya tidak pantas bertanya tentang Rahma. Saya kehilangan gadis itu karena kesalahan saya. Saya juga merasa bersalah pada almarhum Arum karena saya lebih memikirkan Rahma dibandingkan dirinya.

"Paman?"

"Iya?"

"Rahma baik-baik saja. Dia terlihat bahagia, jadi paman juga harus bahagia," kata Radit.

Saya hanya tersenyum simpul. "Dit, paman tidur dulu, ya? Pagi-pagi paman sudah mengantar si kembar ke rumah neneknya dan berangkat mengajar," kata saya mengalih pembicaraan sekaligus mengakhirinya.

Radit mengangguk.

"Assalamu'alaikum," ucap saya.

"Wa'alaikum salam."

Panggilan video berakhir.

Saya menghela napas. Saya merasa sedikit lega telah mengetahui keadaan Rahma yang ternyata baik-baik saja dan telah melupakan kejadian di masa lalu.

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang