Pilihan Hati 2 - Bagian 7

18 3 0
                                    

Bagian 7. Tentang Luka

"Assalamu'alaikum," terdengar suara Radit memberi salam dari luar rumah.

"Kakak yang menyuruhnya datang untuk makan malam," kata kak Nisya sambil menyiapkan makanan di atas meja.

Ya, malam ini saya dan anak-anak saya ikut menginap di rumah ibu karena kedatangan kak Nisya yang menurut saya tiba-tiba. Sebelumnya kak Nisya tidak ada kirim pesan ke saya, kalau dia akan datang.

Ayah dan ibu saya tidak tahu pergi ke mana. Karena sampai makan malam tiba, keduanya masih belum pulang ke rumah. Tadi sore, saya sempat menghubungi mereka, katanya mereka akan makan malam di luar. Jadi kami, anak-anaknya makan malam duluan di rumah, memakan masakan kak Nisya yang rasanya hampir sama dengan masakan ibu. Ya, bisa dikatakan kak Nisya jago masak.

Saya dengan Radit terpaksa saling diam-diaman. Selesai makan malam bersama, Radit pergi bermain dengan kedua anak saya dan anak kedua kak Nisya yang usianya dua tahun di bawah anak saya. Sedangkan anak pertama kak Nisya yang sudah beranjak remaja, memilih berdiam diri di kamar Fariz, mungkin bermain game di ponselnya.

Kak Nisya sibuk merapikan meja makan, sedangkan suaminya sibuk membantu mencuci piring kotor. Dan saya, saya pergi menghampiri Radit.

"Dit," panggil saya.

"Iya, paman?" Radit menghampiri saya dan duduk di samping saya.

"Kamu sudah tidak marah lagi dengan saya?"

Radit menggeleng. "Tidak, paman. Oh iya, paman."

"Iya?"

"Bulan depan, Radit akan pindah ke rumah Radit yang baru bersama orang tua Radit. Minggu depan, mereka akan datang ke sini," jelasnya.

"Baiklah. Jangan lupa, nanti acara syukuran rumah baru, ya?"

Radit mengangguk sambil tersenyum.

"Dit, mas Ramdan minta maaf sudah memukul kamu lebih dulu waktu itu," kata saya sambil menundukkan kepala. "Seharusnya saya menerima perkataan kamu, karena apa yang kamu katakan itu benar."

"Iya."

"Dan ada yang ingin mas tanyakan," kata saya lagi.

"Apa itu?"

"Bagaimana kak Nisya bisa tau mengenai kamu suka juga dengan Rahma?"

"Radit pernah cerita ke kak Nisya, paman. Radit memberitahu kak Nisya, kalau Radit pernah melamar Rahma waktu di luar negeri," jelasnya.

Saya mengangguk. Tidak lama kemudian, anak saya Alfi dan Ara, menghampiri saya. Mereka bilang, sudah mengantuk. Saya pamit dengan Radit untuk membawa anak-anak ke kamar saya dan tidur di sana. Sedangkan kedua anak kak Nisya, diajak masuk ke dalam rumah oleh Radit.

"Ayo, anak-anak bunda, sudah malam, waktunya kita tidur?!" ucap kak Nisya yang terdengar dari dalam kamar.

Tiga puluh menit telah berlalu. Kedua anak saya sudah tertidur lelap. Saya keluar dari kamar. Dan tidak lama kemudian, mobil orang tua saya terdengar. Suara mobil mereka terdengar berhenti di teras. Saya, kak Nisya dan suaminya, juga Radit menunggu di ruang keluarga. Orang tua saya pun terlihat di ruang keluarga sembari memberi salam, walaupun sebelumnya sudah memberi salam ketika sambil membuka pintu, karena pintu sengaja tidak di kunci oleh kak Nisya.

"Ibu dari mana saja?" tanya kak Nisya sambil berdiri untuk menyalami punggung tangan kedua orang tuanya bergantian. Di susul oleh suaminya, saya, kemudian Radit.

"Cucu-cucu ibu sudah tertidur ya, di kamarnya?" kata ibu saya.

"Iya, sudah Bu." Saya yang menjawab.

"Semua bisa duduk lagi. Ada yang ingin kami bicarakan," ucap ayah saya.

Semua orang yang ada di ruang keluarga, termasuk ayah dan ibu, duduk di sofa. Kami, sebagai anak-anaknya menunggu dengan rasa yang sangat penasaran.

"Jadi, tadi kami sehabis dari rumahnya keluarga Rahma. Kami bertemu dengan kedua orang tuanya untuk melamar Rahma, menjadikan Rahma sebagai menantu kami kembali." kata ayah saya menjelaskan.

Semua orang yang ada di ruang keluarga tercengang. Termasuk saya sendiri. Padahal, saya tidak meminta kedua orang tua saya untuk menemui kedua orang tua Rahma. Saya melihat kak Nisya melirik ke arah saya dan Radit secara bergantian.

"Ayah, apa ayah dan ibu tidak terlalu memaksakan Rahma dan keluarganya?" protes kak Nisya.

"Nisya, kami ingin nak Rahma menjadi istri Ramdan, lagi. Hanya Rahma yang akan bisa menerima Ramdan dan anak-anaknya," ucap ibu. Saya cukup tertegun mendengar perkataan ibu.

"Bu. Banyak wanita di luar sana yang seperti Rahma, yang akan menerima Fahri dan anak-anaknya dengan apa adanya. Apa ibu tidak memikirkan luka yang dimiliki oleh Rahma dan Fahri? Apa mereka akan bisa bertahan dengan luka yang sama, yang masih mereka miliki di lubuk hati mereka? Bagaimana kalau mereka tidak bahagia dan memiliki luka baru?"

Saya yang mendengar perkataan kak Nisya, seketika langsung menyayat hati saya. Di sisi lain, saya merasa disadarkan oleh fakta dan setuju dengan perkataan kak Nisya, namun di sisi satunya lagi, saya masih merasa berat hati untuk melepaskan Rahma dan berharap Rahma kembali bersanding dengan saya.

"Bukankah, jika luka bertemu luka akan bisa sembuh nantinya? Karena akan saling memahami dan mengerti satu sama lain, akan saling berusaha untuk memperbaiki kesalahan yang ada, dan ujungnya akan saling menyembuhkan?" ucap saya asal bicara.

"Nisya, di sini ayah dan ibu hanya berusaha untuk membantu Fahri. Selebihnya, keputusan ada ditangan Rahma sendiri, nak. Jika Rahma menolak, kami tidak apa-apa, bagaimanapun Rahma sudah kami anggap sebagai anak kami sendiri," ucap ayah.

"Nisya ngerti, ayah. Tapi, ayah. Kita tidak bisa memberi tekanan kepada Rahma seperti ini, ayah. Cukup Fahri yang menyelesaikan ini semua. Kita, cukup memperhatikan saja dan menasihati jika Fahri melakukan kesalahan. Jika masalah wanita mana yang mau menerima Fahri dan anak-anaknya, ada kok, di luar sana. Hanya saja kita belum memberikan kesempatan pada mereka. Terutama Fahri. Jika dia mau memberikan kesempatan untuk wanita itu, ada saja, kok."

Mas Didit menggenggam tangan kak Nisya, karena dia tahu kalau istrinya sedang emosi. Mas Didit tidak ingin istrinya marah, karena ternyata kak Nisya sedang mengandung anak ketiganya. Selain itu, karena sudah malam juga, dia tidak ingin anak-anak pada bangun karena bisa di bilang, masalah yang cukup tidak penting. Namun, penting bagi saya, karena menyangkut perasaan dan masa depan saya.

Saya melihat ke arah Radit yang sedari tadi hanya terdiam sambil menyimak. Saya yakin, Radit pasti merasa tidak nyaman dengan pembicaraan ini. Karena bagaimanapun, Rahma adalah wanita yang dia suka. Jadi, pasti ada rasa tidak suka dengan pembicaraan ini akibat rasa cemburunya.

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang