Pilihan Hati 2 - Bagian 5

21 2 0
                                    

Bagian 5. Tidak Ada Harapan

Di ruang makan, kini tersisa saya dengan Rahma. Kedua anak saya langsung pergi bermain di kamar masing-masing. Saya melihat Rahma sedang membereskan piring kotor bekas kami makan dan membawanya ke bak cuci piring untuk di cuci.

"Biar saya saja yang cuci," ucap saya pada Rahma sembari mengambil alih sarung tangan karet yang sedang dipegang oleh Rahma.

Tanpa berkata apa-apa. Rahma memberikannya begitu saja ke saya. Sepertinya dia sudah lelah untuk berdebat dengan saya. Saya mulai mencucinya. Tidak lama kemudian, melalui ekor mata saya, saya melihat Rahma mengambil lap meja, dan mulai mengelapnya. Saya buru-buru menyelesaikan kegiatan saya, menaruh gelas terakhir ke rak, yang tentu saja sudah di cuci dan di bilas.

Saya menghampiri Rahma dan merebut lap yang sedang ada di genggamannya begitu saja. Rahma terlihat terkejut. "Biar saya saja, Rahma," kata saya.

"Jika semua dilakukan oleh pak Ramdan, lalu Rahma ngapain?"

"Tadi kamu sudah memasak untuk saya dan anak-anak. Jadi, sekarang kamu duduk saja. Lagi pula kamu kan, tamu."

Mungkin saya terdengar ketus olehnya. Saya menghela napas berat dan mulai mengelap meja makan. "Apa kamu masih merasa tidak nyaman saat berada di dekat saya?" tanya saya sembari melakukan tugas saya.

"Sedikit."

Saya telah selesai mengelap meja. Dan kini saya duduk bersebrangan dengannya. "Rahma," panggil saya sembari menatapnya dengan tatapan melembut. "Meskipun sudah enam tahun sejak kecelakaan itu. Saya tetap masih merasa bersalah. Jika bisa, saya ingin menebusnya, Rahma. Saya tau, kamu sudah memaafkan saya dan mengikhlaskannya. Tetapi, hati kecil saya terus merasa bersalah. Saya tidak bisa melakukan seperti apa yang kamu katakan. Bagaimanapun, kecelakaan yang terjadi di masa lalu, saya yang menyebabkan. Seharusnya, saya tidak bersikap kejam kepadamu." ucap saya. Saya berusaha untuk menahan diri untuk tidak bersikap egois dan memaksa.

"Saya sangat menyesali kebodohan saya waktu itu. Saya yang tidak dapat bersikap adil dan egois, namun tetap menyalahkan kamu. Padahal, kamu yang telah berjuang untuk menyelamatkan pernikahan kita. Tetapi, saya malah menghancurkan segalanya. Rahma, kamu tau, dari dulu hingga sekarang, kamu adalah gadis kecil pilihan hati saya." tanpa di sadari, suara saya bergetar. saya menahan diri untuk tidak menangis. "Tidak bisakah kita memulainya dari awal?"

"Apanya yang harus dimulai dari awal, pak? Seperti yang pernah aku katakan dulu. Kecelakaan yang terjadi padaku, bukan salah pak Ramdan. Aku kehilangan bayiku juga bukan salah pak Ramdan. Itu semua salah aku yang tidak dapat menjaga bayiku dengan baik. Pak Ramdan sudah melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan hubungan rumah tangga kita. Namun, karena sifat aku yang ke kanak-kanakan, semua hancur. Seharusnya aku lebih sabar lagi saat itu, saat menghadapi pak Ramdan. Dan seharusnya, aku yang lebih memahami kondisi pak Ramdan saat itu."

Bodoh sekali kamu Ramdan. Lagi-lagi saya bersikap egois dengan mengungkit masa lalu dan membuat Rahma menangis entah untuk ke berapa yang sekian.

"Aku, aku tidak tau harus berkata apa saat pak Ramdan berkata ingin menebus semua perbuatan pak Ramdan di masa lalu terhadap diriku. Karena yang telah terjadi dulu, tidak akan bisa ditebus oleh apapun. Semua sudah menjadi serpihan masa lalu. Seperti kaca yang pecah. Tidak dapat diperbaiki lagi, pak."

"Rahma?"

Saya mendengar suara Radit yang entah kapan dia muncul dan menyaksikan semua.

"Paman, mengapa paman harus membuka luka lama Rahma? Apa paman tidak tau berapa lama proses penyembuhan luka di hati Rahma?" sarkas Radit pada saya.

"Ini urusan saya dengan Rahma. Kamu tidak perlu ikut campur walaupun kamu itu salah satu keluarga saya," kata saya dengan sinis.

"Tapi, tidak seperti ini caranya. Dengan tidak membuat Rahma menangis!" ujar Radit dengan nada tinggi.

"KAMU BERANI MENINGGIKAN SUARA KE YANG LEBIH TUA DARI KAMU?"

"YA, SAYA BERANI. BIAR PUN PAMAN LEBIH TUA DARI SAYA, JIKA PAMAN MENYAKITI HATI SEORANG PEREMPUAN, TERUTAMA RAHMA. SAYA BERANI MELAWAN PAMAN!"

emosi saya memuncak. Entah dapat dorongan dari mana, saya melangkahkan kaki menghampiri Radit dan memukulnya dengan sangat kencang hingga dia terhuyung ke belakang.

Ketika Radit ingin membalas. Tiba-tiba Rahma datang untuk menenanginya. "Tidak Radit, jangan. Bagaimanapun pak Ramdan adalah paman kamu, Dit. Ingat, ada Ara dan Alfi di rumah ini. Jadi, tolong hentikan, ya?" ucap Rahma berusaha menenangkannya. "Pak Ramdan juga. Ingat, di rumah ini ada anak-anak. Tidak baik bagi pak Ramdan melakukan perbuatan buruk. Bagaimana Alfi dan Ara melihatnya? Tolong tahan emosi pak Ramdan," ucap Rahma pada saya dengan tatapan penuh amarah.

"Ayo, Rahma. Biar saya antar pulang!" Radit berjalan lebih dulu meninggalkan ruang makan.

"Saya pamit pulang dulu, pak. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Ketika Rahma dan Radit pergi meninggalkan ruang makan. Saya terduduk dengan lemah. Untuk pertama kalinya setelah terakhir meninggalnya Arum, saya menangis sesenggukan. Saya merasa frustasi. Sepertinya sudah tidak ada harapan lagi bagi saya untuk dimaafkan oleh Rahma. Tidak ada harapan lagi, untuk Rahma kembali hidup bersama dengan saya. Saya sangat menyesali kejadian yang baru saja terjadi. Saya merutuki diri saya yang begitu bodoh, telah menyakiti Rahma dan Radit.

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang