bab 24. Telah Pergi

525 24 3
                                    

Ketuk palu sudah dilakukan oleh hakim. Persidangan perceraian saya dengan Rahma telah selesai. Kini kami telah resmi bercerai secara hukum. Secara agama pun kami sudah resmi berpisah, tidak ada ikatan suami-istri lagi di antara kami. Saya melirik ke arah Rahma yang duduk berada jauh dari saya. Wajahnya terlihat jauh lebih berseri dari sebelumnya. Sudah tidak ada lagi kesedihan di dirinya. Mungkin Rahma sudah mengikhlaskannya. Saya tersenyum ketika Rahma melihat ke arah saya yang sambil tersenyum. Senyumnya, senyum yang sudah lama tidak pernah saya lihat, saya kembali melihatnya. Namun, senyum itu saya lihat di dalam gedung pengadilan agama, ketika kami sudah bercerai.

Beberapa kerabat yang menjadi saksi persidangan sudah keluar dari dalam ruangan. Begitu juga dengan hakim dan jaksa. Keluarga saya dan keluarga Rahma lebih dulu keluar dari ruangan. Saya, Rahma, dan Arum masih berada di dalam. Tidak lama kemudian, Arum pamit ke saya dan menyusul keluarga saya yang sudah keluar. Jadi, kini hanya tinggal saya berdua dengan Rahma yang masih duduk di tempatnya. Saya berdiri dan menghampirinya.

Saya berdiri di samping Rahma yang masih duduk. Saya tidak tahu harus mengatakan apa ke Rahma. Perasaan saya bercampur aduk. Tiba-tiba Rahma berdiri dan menatap saya. Entah mengapa, saya tidak berani menatapnya. Saya menunduk dan air mata saya jatuh begitu saja. Untuk kali kedua, saya menangis di hadapannya.

"Mengapa rasanya begitu menyakitkan, Rahma?" ucap saya dengan lirih setelah tiga menit lamanya saya menangis. Lalu, saya memberanikan diri untuk menatapnya. "Saya tidak tau harus mengatakan apa lagi ke kamu. Rahma, setelah bercerai dari saya, saya harap, kamu jauh lebih bahagia dari sebelumnya. Selain itu ...," jeda. "... saya sangat merindukan kamu."

"Pak Ramdan," panggilnya.

"Ya?"

"Terima kasih."

"Untuk?"

"Segala hal," jawabnya. "Pak Ramdan sudah memberikan banyak kebahagiaan dan kasih sayang untuk Rahma. Maaf Rahma belum bisa memberikan yang terbaik ketika masih menjadi istri pak Ramdan. Semoga pak Ramdan hidup dengan bahagia. Lupakan yang sudah terjadi dan jangan salahkan diri pak Ramdan."

"Boleh saya ajukan permintaan ke kamu?" kata saya.

"Apa itu, pak?"

"Bisa saya dengar kamu panggil saya mas Ramdan? Saya ingin dengar untuk yang terakhir kalinya."

Rahma mengangguk dan tersenyum. "Mas Ramdan. Semoga mas Ramdan bahagia. Mas Ramdan harus tetap semangat demi Bu Arum dan buah hati mas Ramdan, ya?"

Saya memaksakan diri saya untuk tersenyum, dan mengangguk. "Tentu. Kamu juga, ya?" Rahma mengangguk.

***

Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Dua tahun sudah saya bercerai dan tidak pernah melihat Rahma maupun menghubunginya. Saya juga sudah berjanji ke abi Dzul untuk tidak pernah menemui Rahma lagi. Jika tidak sengaja bertemu di jalan, sebisa mungkin harus menghindarinya supaya tidak bertemu.

Dalam waktu dua tahun itu pula, anak saya sudah lahir ke dunia dengan selamat. Saya memiliki anak kembar, laki-laki dan perempuan. Usia mereka telah memasuki dua tahun. Kemudian Arum, setelah melahirkan, kondisinya melemah. Semakin hari, semakin lemah. Badannya sudah sangat kurus sekali. Saat di bawa ke rumah sakit tahun lalu untuk diperiksa penyakitnya, Arum di diagnosa mengidap kanker otak stadium akhir oleh dokter. Saya yang baru mengetahuinya langsung terkejut, tidak percaya. Arum tidak pernah memberitahu saya tentang penyakitnya sedikitpun. Keluarganya juga baru mengetahuinya tahun lalu. Jadi, selama ini Arum tidak pernah menjalani pengobatan, baru tahun lalu Arum menjalani pengobatan dan masih dirawat di rumah sakit sampai saat ini.

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang