bab 15. Kesedihan yang Mendalam

222 14 0
                                    

Note:

Guys, mengingatkan kembali. Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kebaikan di dalam cerita, semoga dapat bermanfaat bagi kalian. Jika ada keburukan di dalam cerita, tolong jangan diikuti. Jika ada kesalahan di dalam cerita, tolong diperbaiki/dikoreksi.

Oke, guys. Itu aja yang ingin di sampaikan. Terimakasih bagi kalian yang sudah membaca kisah Ramdan sampai sejauh ini :)

Bagian 15. Kesedihan yang Mendalam

Saya sudah berada di rumah, sedang bersiap-siap menuju masjid untuk menggantikan Fariz duduk di pelaminan. Setelah mengenakan setelan jas pernikahan, Rahma masuk ke dalam kamar. Ia menatap saya, lalu beralih menatap ke dasi yang telah saya pakai. Tangan Rahma terulur ke arah dasi saya untuk membenarkannya, lalu merapihkan jas saya, dan terakhir, merapihkan rambut saya yang telah saya pakaikan peci. Selama Rahma melakukan hal itu semua, saya terdiam. Saya memerhatikan wajah sedih Rahma yang sedang berusaha untuk terlihat tidak sedih di hadapan saya.

Rahma telah selesai merapihkan pakaian saya. Setelah itu, Rahma mengeluarkan kotak kecil berwarna merah dari tasnya. Kotak itu adalah kotak yang berisi cincin pernikahan Fariz untuk Arum. Saya tidak tahu sejak kapan Rahma memiliki kotak itu. Padahal, sebelumnya kotak perhiasan itu ada di ibu.

Rahma mengambil tangan kanan saya dan menaruh kotak itu di telapak tangan saya yang terbuka. "Pakaikan ini ke jari manis Bu Arum, mas," ucap Rahma.

"Kamu tidak bersiap-siap?" Pertanyaan bodoh terlontar begitu saja dari mulut saya. Seharusnya, saya tidak menanyakan hal itu. Rahma langsung tertunduk. Ia menyembunyikan kesedihannya dari saya, namun saya masih bisa melihatnya. "Jika kamu merasa ini berat. Saya tidak akan melakukannya, Rahma. Bukan hanya kamu saja, Rahma. Saya juga merasakan hal yang sama dengan kamu. Rahma, saya tidak ingin menyakiti siapapun, terutama kamu," kata saya. Rahma masih terdiam dan masih enggan menatap wajah saya.

Kedua telapak tangan saya tangkupkan di kedua pipinya. "Rahma, lihat saya. Katakan, kalau kamu tidak ingin saya menikah lagi. Saya tidak akan menikahi Arum. Saya tau kalau dari dulu kamu cemburu dengan Arum. Saya tau kalau kamu sebenarnya tidak begitu menyukai saya yang dekat dengan Arum," ucap saya dengan lembut. Tidak ada emosi.

Rahma memberanikan dirinya untuk menatap saya. "Bukankah Rahma sudah pernah bilang? Rahma tidak masalah kalau pak Ramdan menikah lagi. Rahma tidak merasa keberatan. Yang penting bagi Rahma adalah pak Ramdan tidak akan pernah berubah pada Rahma. Pak Ramdan akan selalu mencintai dan menyayangi Rahma. Itu saja," katanya.

Ketika Rahma berkata seperti itu, hati saya merasa sesak. Saya pun langsung membawa Rahma ke dalam pelukan saya. Rahma membalas pelukan saya dan menangis di dalam dekapan saya.

Selang beberapa menit, Rahma melepaskan pelukannya. "Pergilah, pak Ramdan. Sudah waktunya. Mereka sudah menunggu terlalu lama. Jangan biarkan mereka menunggu lebih lama lagi," katanya di sela-sela isakkannya. "Aku akan menyusul," katanya. Saya mengangguk.

Jujur, saya tidak tega meninggalkan Rahma sendirian di rumah. Kaki saya terasa berat untuk melangkah. Namun, kenyataan saya yang harus menggantikan Fariz di pelaminan, tidak dapat terelakkan. Tolong maafkan saya Rahma.

Ya Allah, tolong maafkan hamba yang telah menyakiti hatinya. Batin saya sambil meninggalkan Rahma seorang diri dengan berurai air mata.

***

Acara ijab Qabul sudah saya lakukan. Memasangkan cincin di jari manis pun sudah saya pasangkan. Yang belum saya lakukan adalah, menandatangani buku nikah. Buku nikah yang akan saya tandatangani merupakan milik Fariz, jadi ada beberapa yang harus diganti. Salah satunya, seperti nama dan foto.

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang