Pilihan Hati 2 - Bagian 6

15 1 0
                                    

Bagian 6. Mencoba Berdamai

Sejak kejadian dua minggu yang lalu, Radit tidak lagi pulang ke rumah dan tinggal bersama saya. Dia memilih menginap di rumah temannya. Saya tahu, dan saya merasa bersalah, bahwa saya telah memukul Radit. Tidak seharusnya saya memukul, bahkan bertengkar dengan adik sepupu saya, yang sudah saya anggap sebagai adik kandung saya sendiri. Radit adalah seseorang yang bisa saya andalkan. Dia selalu ada disaat saya sedang merasa terpuruk dan orang yang paling memahami saya.

Tetapi, karena masalah satu wanita. Hubungan antara kami jadi terasa renggang dan canggung. Setiap kali saya ingin menghubunginya, rasanya berat sekali. Saya merasa bersalah sekali. Bagaimanapun, seharusnya saya bisa mengontrol emosi saya, sehingga tidak tersulut dan memukulnya.

Di minggu berikutnya, saya dan kedua anak saya pergi ke tempat pemakaman umum. Di sana yang berjongkok di samping antara kuburan Arum dan kembaran saya, Fariz. Ya, sebelum meninggal, Arum meminta saya untuk memakamkannya tepat di samping makamnya Fariz. Tanpa saya sadari, air mata saya jatuh seketika. Kedua anak saya yang melihatnya, langsung memeluk saya dan mengusap air mata saya. Saya tersenyum. Namun, jauh dari lubuk hati saya, rasanya sangat berat sekali. Seketika, ingatan di masa lalu, terputar kembali.

Saya teringat bagaimana awal kisah saya dan hubungan saya dengan Rahma hancur. Semua di awali dengan kecelakaan Fariz yang terjadi satu hari sebelum pernikahannya, yang terjadi pada sore hari, yang akhirnya merenggut nyawanya pada pagi hari. Sebelum di mana Fariz menghembuskan napas terakhirnya, dia meminta untuk diri saya menggantikannya menikahi Arum dan dengan bodohnya, Rahma menyetujuinya meskipun berat. Dan lebih bodohnya lagi, saya menurutinya dan kesalahan saya adalah membuat Arum hamil dan melahirkan anak kembar saya, Alfi dan Ara.

Saya langsung beristighfar. Tanpa sengaja, saya menyalahi takdir yang diberikan oleh Allah. Saya memeluk kedua anak saya dengan erat. Mereka lahir bukan karena kesalahan mereka, saya tidak harus menyalahkan mereka.

Sekadar memberitahu, Arum meninggal karena penyakit yang sudah lama dia derita. Saya baru tahu tidak lama Arum jatuh sakit dan langsung mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Ternyata, Arum mengalami cancer atau kanker, dan sudah memasuki stadium terakhir. Saya sebagai temannya sebelum menjadi suaminya, tidak mengetahui bahwa perempuan itu mengalami penyakit yang sangat berbahaya. Arum pun jarang mengeluh tentang penyakitnya. Tidak tahu dengan Fariz, mungkin kembaran saya tahu mengenai penyakit Arum. maka dari itu, Fariz ingin menikahinya. Dan ketika sebelum Fariz meninggal, kembaran saya meminta Rahma untuk merestui saya menikahi Arum.

Suara dering dan getar yang berasal dari dalam saku celana saya. Namun, saya abaikan. Sebelum beranjak dari makam Arum dan Fariz, saya mengirimkan surat Al-Fatihah untuk keduanya. Kemudian, saya keluar dari tempat pemakaman umum, dengan menuntun kedua anak saya. Saat telah berada di luar, ponsel saya kembali berdering dan bergetar. Saya mengeluarkan ponsel dari saku celana saya, dan melihat nama yang tertera di layar. Kak Anisya. Saya menggeser panel hijau dan menempelkan layar ponsel saya ke daun telinga saya.

"Assalamu'alaikum, kak. Iya, ada apa?"

"Kamu ada di rumah?"

"Fahri lagi di luar sama anak-anak. Kenapa, kak?"

"Kalau begitu, kamu bisa ke rumah ibu sekarang? Kakak udah sampe di rumah ibu, tapi sepertinya tidak ada orang."

"Oke. Fahri ke rumah ibu sekarang," kata saya dan mengakhiri panggilan dengan salam.

***

Saya telah sampai di rumah ibu. Ketika saya turun, kak Anisya, kakak kandung saya, sedang duduk di teras bersama anaknya dan suaminya. Saya menghampiri mereka dengan berjalan santai, sedangkan kedua anak saya menghampiri mereka dengan lari kecil.

"Hati-hati, nak." ucap saya.

Kak Anisya, atau yang biasa saya panggil kak Nisya, berdiri menunggu saya mendekat. Setelah berada di depannya, saya menyaliminya, dan menyalami suaminya yang merupakan kakak ipar saya.

"Sudah lama, kak?"

"Iya, sudah. Makanya kak Nisya telepon kamu."

"Sebentar." ucap saya sambil berjalan ke arah keset yang terbuat dari kain yang telah dianyam. Biasanya ibu menaruhnya di bawah sana ketika pergi, kecuali pergi jauh sampai ke luar kota.

"Kamu bertiga saja dengan anak kamu, Fahri? Radit? Dia lembur?" tanya kak Nisya.

Saya sudah berhasil membuka pintu. "Tidak tahu." jawab saya dengan acuh sambil melangkah masuk ke dalam, di susul dengan anak-anak dan kak Nisya bersama suaminya.

"Kamu dan Radit sedang bertengkar? Masalah apa? Wanita yang sama?" tanya kak Nisya lagi.

Saya dan kak Nisya duduk dibangku yang ada di ruang keluarga. Sedangkan suaminya, membawa tas yang berisi pakaian ke kamar kak Nisya, dulu. Mereka berencana untuk menginap beberapa hari.

"Rahma, bagaimana kabarnya? Apa kamu masih berusaha untuk mendapatkannya kembali?" tanya kak Nisya yang sudah ketiga kalinya.

Saya terdiam. Kak Nisya menghela napas panjang. "Fahri, sudah empat tahun sejak kepergian Arum kamu jadi seperti ini. Mengejar Rahma yang sudah mengalami banyak luka gara-gara ulah kamu sendiri. Kalau kamu seperti ini, mengejar dan memaksanya, kasihan Rahma. Kata kamu, kamu tidak ingin menyakitinya lagi. Kalau begitu, coba kamu ikhlaskan. Berdamai dengan masa lalu kamu, apa kamu tidak bisa? Bukan hanya Rahma yang akan tersakiti, tapi kamu juga Fahri. Jika kalian mencoba memulai hubungan kembali, apa luka di hati kalian masing-masing tidak akan terbuka lagi? Apa kalian akan bisa bahagia seperti semula? Coba kamu pikirkan kembali, Fahri."

Apa yang dikatakan oleh kak Nisya ada benarnya. Selama ini saya terlalu memaksakan diri dan terlalu memaksakan Rahma untuk memulai hubungan kembali bersama saya. Bukan hanya Rahma yang akan terluka nanti, tapi saya juga.

Suami kak Nisya, Mas Didit, duduk di samping kak Nisya. "Fahri, mas ada kenalan, wanita yang insya Allah saleha dan baik, dia senang dengan anak kecil dan sudah siap untuk memulai hubungan nikah. Apa kamu mau mas kenalin dengan wanita itu? Kak Nisya juga kenal kok, dengan wanita itu."

Saya hanya bisa tersenyum. "Untuk saat ini, enggak dulu deh, mas."

"Bilang ya, kalau kamu sudah siap."

"Iya, mas."

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang