Bab 21. Penyesalan

524 22 3
                                    

Saya baru saja selesai mandi dan memakai kemeja yang biasa saya pakai. Saya teringat akan surat yang diberikan ibu ke saya, lalu saya pun mencarinya. Saya memeriksa kantung baju yang waktu itu saya pakai saat ke rumah ibu. Tidak ada. Karena sudah lumayan lama, butuh waktu lama mencarinya. Saya pun teringat, kalau menyimpannya di dalam kotak jam saya yang ada di laci lemari di kamar Arum. Setelah ketemu suratnya, saya duduk di atas kasur dan membacanya. Suratnya ditulis dengan tangan dan tidak terlalu panjang, hanya setengah dari kertas.

Saya tidak tahu harus berkata apa saat membaca surat itu. Yang saya rasakan sekarang marah dan benar-benar kecewa. Rahma benar-benar serius dengan perkataannya. Saya menaruh sembarang surat Rahma di atas kasur dan berdiri. Saya keluar dari kamar berniat untuk menemui Rahma. Saya tidak menemukan Rahma di manapun. Dan saya pun baru ingat, kalau Rahma sedang pergi ke taman bersama dengan Arum.

Sebenarnya, selama satu minggu ini hubungan saya dengan Rahma mulai membaik. Tetapi, entah mengapa, setelah membaca surat dari Rahma, rasa amarah dan kecewa saya kembali meluap. Kesabaran saya sangat-sangat diuji oleh dirinya, dan saya merasa, rasa sabar saya terhadap Rahma telah habis. Walaupun saya tidak boleh merasa seperti itu.

Saya duduk di bangku panjang yang ada di ruang tengah. Saya harus mengontrol emosi saya dan mendinginkan pikiran saya. Kemudian, saya merenungkan tindakan apa yang harus saya lakukan pada Rahma. Yang pasti, saya tidak boleh bertindak kasar, seperti menyakiti fisiknya.

Saya beranjak dari tempat duduk ke kamar Rahma. Saya pun memutuskan untuk menuruti semua kemauan Rahma di dalam surat itu. Saya akan membebaskan Rahma dan memulangkannya ke rumah orang tuanya. Saya mengambil koper milik Rahma dan memasukkan semua baju miliknya ke dalam koper. Selesai memasukkan semua baju-bajunya, saya membawanya ke teras, lalu saya masuk ke dalam, dan meninggalkan tasnya di luar sana. Saya juga membiarkan pintunya terbuka dengan lebar.

Tepat pukul setengah dua belas siang. Keduanya pulang ke rumah. Arum masuk ke dalam sambil mengucapkan salam. Saya menjawab salamnya. Saya melihat wajahnya yang bertanya-tanya, sedangkan Rahma, ia tidak masuk ke dalam.

"Ada apa ini, Fahri? Kenapa koper Rahma ada di luar? Jangan bilang, kamu mengusirnya? Fahri, bukankah hubungan kalian mulai membaik? Kenapa jadi begini, Fahri?" Saya keluar untuk menemui Rahma. "Fahri." Panggilan Arum saya abaikan. Saya tidak bermaksud mengabaikannya. Saat ini, pikiran saya tertuju pada Rahma.

"Ini, ke-kenapa koper Rahma ada di luar?" Rahma bertanya dengan suara tergagap dan penuh hati-hati.

"Kamu mau pergi, bukan? Pergi saja! Saya tidak akan melarang kamu lagi. Karena yang kamu inginkan selama ini adalah pergi dari hidup saya, bukan?" ucap saya dengan emosi.

"Fahri." Arum menegur saya. Tetapi, saya menghiraukannya.

Saya melihat mobil yang terparkir di depan rumah saya. Itu adalah mobil yang telah saya pesan dan bayar melalui aplikasi untuk mengantarkan Rahma pulang ke rumah orang tuanya.

"Mobilnya sudah datang," ucap saya sambil menatap Rahma dengan dingin.

Saya melihat Rahma menangis dalam diamnya. Jujur, saya tidak tega. Namun, saya tidak berdaya. Saya sudah terlalu lama menahan semua keinginan Rahma. Saya berjalan mendekati Rahma. Tiba-tiba, Arum menghadangnya. "Jangan, Fahri! Jangan biarkan Rahma pergi, jangan menyuruhnya pergi! Aku mohon, Fahri! Atau kamu akan menyesal," kata Arum sambil menangis.

"Jangan hentikan saya, Arum! Bukan saya yang menyuruhnya pergi, dan saya juga tidak ingin dia pergi. Tapi ... Ini yang dia inginkan selama ini, Arum! Saya tidak akan menahannya lebih lama lagi. Saya, saya akan menuruti keinginannya."

"Enggak, Fahri! Kamu salah! Ini semua hanya salah paham saja. Bicarakan hal ini dengan baik-baik dulu dengan Rahma, ya? Dan, dengarkan isi hati Rahma, ya?" kata Arum membela Rahma.

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang