Saya tidak melihat adanya Rahma, baik sebelum maupun setelah shalat subuh berjama'ah di masjid. Bahkan, saat sarapan, Rahma tidak ada. Dalam benak saya, saya bertanya-tanya, tapi tidak berani untuk menanyakannya ke ibu. Ibu juga tidak mengatakan apa-apa mengenai Rahma.
Selesai sarapan, dan usai Arum membantu ibu mencuci piring. Saya dan Arum pamit pulang. Sebelum pergi, ibu baru memanggil saya, hanya saya. Sepertinya ada yang ingin di katakan olehnya. Kini saya dan ibu berada di kamar saya. "Ada apa, bu?" tanya saya.
Saya lihat ibu mengeluarkan sebuah lipatan kertas dari kantung bajunya. Lalu, memberikannya ke saya. "Apa ini, bu?" tanya saya lagi.
"Simpan saja surat itu. Jangan pernah dibuka. Berjanjilah pada ibu?"
Saya memandangi ibu dengan tatapan bingung. "Sebenarnya, surat apa ini?" Saya bertanya lagi karena merasa penasaran. Terutama saat ibu bilang seperti itu.
"Nak, tolong jangan sering bertengkar dengan Rahma. Bagaimanapun, Rahma juga istri kamu. Ibu tau kandungan Arum lemah, tapi tolong perhatikan Rahma juga, nak. Tolong bersikap adil. Terlebih lagi, Rahma sedang kuliah juga, kan. Selain itu ...," Ibu tidak melanjutkan perkataannya lagi. Ibu terlihat ragu untuk mengatakannya. "Intinya, jangan sering bertengkar dengan Rahma. Jangan marah padanya, ya? Ibu mohon Ramdan." kata ibu.
Saya mengangguk. "Baiklah, bu." Setelah itu, saya dan ibu keluar dari kamar.
***
Saya dan Arum sampai di rumah tepat pukul 09.00 WIB. Saya memegang gagang pintu dan membukanya. Tidak di kunci. Lalu, saya melihat Rahma sedang berdiri di dekat meja makan dan terdapat lauk pauk juga nasi di atasnya.
Saya menghela napas. Setelah itu, saya masuk ke dalam kamar saya. Kamar yang di tempati oleh Arum, juga saya.
"Kamu masak, Rahma?" Dari dalam kamar saya mendengar Arum bertanya. "Tapi, Rahma. Maaf, kami sudah sarapan di rumah ibu," kata Arum.
"Tidak apa," jawab Rahma.
Saya berjalan ke tempat tidur dan duduk di sana. Banyak hal yang saya pikirkan. Rasanya aneh sekali mendengar ibu berkata seperti tadi. Saya ingin sekali membuka surat tadi dan membacanya, namun ibu melarangnya. Jika dilarang, seharusnya tidak usah diberikan kepada saya.
Saya menoleh kearah pintu kamar yang terbuka. Arum masuk ke dalam, dan menutup pintunya lagi. "Ada apa?" tanya saya ketika melihat wajah Arum yang nampak bingung.
"Rahma terlihat aneh hari ini. Dia juga terlihat berbeda. Tidak seperti Rahma yang biasanya," cerita Arum.
"Ada dengannya?"
"Rahma hari ini mencuci semua pakaian, termasuk pakaian kita. Padahal kan, pakaianku akan aku cuci sendiri, tapi dia memaksakan diri untuk mencucinya."
"Biarkan saja," jawab saya terdengar tidak peduli.
"Fahri, kamu juga aneh. Tidak seperti biasanya," kata Arum sambil duduk di samping saya.
"Saya ke luar dulu," kata saya sambil berdiri. Arum terdiam sambil memerhatikan kepergian saya dari kamar.
Saya pergi ke teras dan melihat Rahma sedang menjemur pakaian. Sebenarnya, saya terkejut betapa banyaknya pakaian yang dicuci oleh Rahma. Saya tahu banyak atau tidaknya, karena melihat dua jemuran besar yang digunakan olehnya. Saya juga melihat dua ember yang berisi pakaian basah.
"Kenapa kamu mencuci? Tumben sekali, tidak biasanya," ucap saya. "Terlebih lagi, pakaian kotor saya banyak. Mengapa tidak laundry saja?" tanya saya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan Hati
Espiritual[Pilihan Hati season 1 SELESAI] [Pilihan Hati season 2 on going] *** Karena kamu adalah pilihan hati saya. -Fahri Muhammad Ramdan *** DON'T COPY MY STORIES, PLEASE! Copy Right April 2020 dan 8 Oktober 2023 @egy_rosmawati Ditulis dengan nama pena: am...