Pilihan Hati 2 - Bagian 2

78 3 0
                                    

Bagian 2. Setelah Sekian Lama

Waktu memang berlalu dengan cepat, ya ... Sudah satu tahun sejak kepulangan Radit dari studinya di luar negeri dan sudah menjalani karirnya di dunia kerja kurang lebih delapan bulan lamanya. Dan selama itu pula saya tidak pernah melihat Rahma.

Saya rindu dengan gadis itu. Saya ingin kembali melihatnya. Ya, saya sadar diri, tidak sepantasnya saya merindukan atau memikirkan gadis itu, saya sudah terlalu banyak melukai hatinya. Namun, apalah daya saya. Astaghfirullah ... Bukan saya telah melupakan almarhum Arum, ibu dari anak-anak saya, saya masih mengingatnya dan mendoakannya. Hanya saja, perasaan saya lebih dominan diisi oleh Rahma. Apa karena saya sudah banyak menggores luka di hatinya, ada rasa bersalah, sehingga saya belum bisa melupakannya? Mungkin saja.

"Assalamu'alaikum." Saya mendengar suara Radit memberi salam dari luar rumah.

Saya yang memang sedang bekerja di ruang tamu, saya berdiri dan membukakannya pintu. Radit melangkah masuk dan menyalimi punggung tangan saya.

"Baru pulang kerja?" tanya saya. "Ayo, duduk!" Saya mempersilakannya duduk.

"Si kembar ke mana, paman?"

"Biasa setiap hari Jum'at kan mereka menginap," jawab saya.

Radit mengangguk. Lalu dia melepas tas ransel dari gendongannya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam. Dia pun memberikannya kepada saya.

"Ada titipan undangan nikah dari Yumna," jelasnya.

Saya menerima undangan tersebut dan membacanya. Saya sedikit terkejut melihat nama yang tertera pada undangan. Yumna dan Zaki. Ya, Zaki adalah saudara laki-laki Rahma. Saya mengira, Zaki akan menikahi Rahma, adiknya yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah. Karena sewaktu saya ingin menikahi Rahma, Zaki mengancam saya akan melukai saya jika saya menyakiti Rahma, bahkan Zaki mengungkapkan rasa sukanya terhadap Rahma ke saya.

"Kenapa paman terlihat terkejut?" tanya Radit.

Saya menggeleng.

"Rahma sudah pulang ke Jakarta dua minggu yang lalu," kata Radit. "Oh iya, paman, undangan tersebut dari Yumna, dan Yumna bilang kalau dia di suruh kak Zaki," jelasnya.

Saya hanya mengangguk.

"Ada apa, paman? Kenapa sejak menerima undangan paman jadi diam saja? Memikirkan Rahma?" tanyanya lagi.

Saya tidak menjawab.

"Paman, sepertinya paman lupa tentang perasaan Radit ke Rahma," katanya lalu tersenyum miris. "Nggak apa-apa, Radit juga tidak bisa melakukan apa-apa karena keputusan ada ditangan Rahma. Lalu, takdir ada ditangan Allah."

***

Waktu bertemu dengannya telah tiba. Saya datang ke acara pernikahan Zaki dan Yumna sedikit terlambat. Ban mobil saya sempat pecah di tengah jalan jadi harus mampir ke bengkel untuk diganti bannya. Sedangkan anak-anak saya pergi bersama dengan nenek juga kakeknya. Lalu Radit, sepertinya dia mengendarakan motornya.

Dari jauh, saya melihat kedua orang tua saya sedang mengobrol dengan kedua orang tua Rahma. Sejak kejadian saya tersebut, mereka tidak lagi pernah bertemu. Tidak memutuskan tali silaturahmi, mungkin saja mereka merasa tidak enak dengan kedua orang tua Rahma. Rasa bersalah itu kembali muncul ketika saya melihat gadis yang ingin sekali saya temui, Rahma. Gadis itu sedang asik tertawa bersama dengan sahabatnya, Yumna.

"Assalamu'alaikum," saya memberi salam ketika menemui kedua orang tua Rahma dan menyalimi punggung tangan mereka.

"Wa'alaikumussalam," jawab keduanya.

"Apa kabar kamu, Ramdan?" tanya abi Dzul.

"Alhamdulillah, baik. Abi Dzul, kabarnya baik selama ini?"

"Ya, alhamdulillah. Saya dan keluarga alhamdulillah baik-baik saja," katanya.

Saya melihat ke arah Rahma. Lalu saya pamit ke kedua orang tua Rahma untuk menghampiri anaknya. Saya memberi salam pada Rahma. Dari punggung belakang dia tampak mematung ketika mendengar suara saya.

"Pak Ramdan," ucap Yumna yang saat itu sedang menjadi pengantin berdampingan dengan Zaki sebagai pengantin laki-laki.

Saya melihat Rahma memutar badan dan melihat ke arah saya. "Pak Ramdan," ucapnya.

"Apa kabar?"

"Alhamdulillah, baik. Pak Ramdan gimana kabarnya?" Rahma balik bertanya.

Saya dapat melihat kalau dia sedang merasa tidak nyaman bertemu dengan saya. Saya diam-diam tersenyum kecut. Rupanya Rahma masih belum bisa bersikap biasa saja dengan saya.

Masih butuh waktu berapa lagi kamu untuk bisa bersikap santai dengan saya, Rahma?. Batin saya.

"Alhamdulillah, kabar saya baik."

"Kalau begitu, Rahma permisi dulu, pak Ramdan."

Saya mengangguk. Rahma pun pergi melewati saya, begitu saja.

"Wajar Rahma bersikap seperti itu. Menghindari lo yang sudah sangat menyakiti hatinya," ucap Zaki ketika Rahma sudah benar-benar pergi. "Gue harap Rahma bisa mendapatkan laki-laki baik, yang benar-benar tulus mencintainya, dan bisa tegas dalam menolak keinginannya yang dirasa akan merugikan kedua belah pihak," lanjutnya bermaksud menyindir saya.

Karena apa yang dikatakan Zaki benar adanya, saya tidak merasa tersinggung. Saya hanya bisa tersenyum. Selain itu, hari ini adalah hari bahagianya dan hari paling bahagianya Yumna.

Lucu, ya. Ternyata saya sudah setua ini karena melihat anak murid saya sudah menikah. Dan tanpa disadari pula kalau saya pernah menikahi anak murid saya sendiri meskipun Rahma sudah menjadi gadis pilihan hati saya sejak saya duduk dibangku SMA dan gadis itu duduk dibangku SD.

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang