Niswah menatap perkarangan rumah Nabila yang sudah dihiasi sedemikian rupa untuk acara aqiqah anak pertamanya. Ornamen biru dan putih begitu mendominasi, dan terlihat sangat indah. Dalam hati Niswah berharap, ia masih di beri kesempatan tuhan untuk menjadi seorang ibu dan merasakan perjuangan mengandung dan melahirkan seperti wanita lainnya.
Hafidz yang melihat binar harap dari mata sang istri hanya bisa berdoa, setelah mereka kembali ke rumah, Niswah tidak akan sedih dan putus asa lagi.
"Ayo, sayang. Masuk," ucap Hafidz memecah lamunan Niswah. Niswah sendiri hanya mengangguk lalu memeluk lengan suaminya sambil mencoba untuk terlihat bahagia meski hatinya sangat sesak sekarang.
Disana, tepat di tengah ruangan, ada Nabila dan suaminya yang sedang menggendong sang buah hati, raut bahagia sangat tampak di wajah keduanya tak lupa pula, seorang anak kecil yang sedang tertawa bahagia sembari menatap bayi yang berada di gendongan suami Nabila.
Anak kecil itu adalah anak tiri Nabila, yah, Nabila menikahi duda anak satu, yang sekarang sang anak tiri sudah berusia tujuh tahun, dan lihatlah kekompakan keluarga itu, dengan memakai baju putih, ke empatnya tampak sangat menikmati moment krusial aqiqah ini.
"Assalamualaikum, Nabila."
"Waalaikumsalam, masyaallah... Akhirnya kamu datang juga," ucap Nabila kelewat heboh ketika melihat Niswah datang, hal itu menyebabkan sang anak yang berada di gendongan suaminya menangis karena kaget, Nabila sendiri hanya meringis malu setelah sadar perbuatannya.
"Maaf, Mas. Nabila khilaf."
"Gak pernah berubah kamu tuh. Kasian dedek harus dengerin suara cempreng," balas sang suami yang membuat Nabila cemberut seketika, memang suaminya ini sangat menyebalkan sedari dulu, dasar dosen Izrail.
Niswah tampak menahan tawanya, Nabila dan Dito adalah dua orang yang memiliki sifat sangat berbeda, dan harus menjalani kehidupan bersama. Ia bahkan awalnya tidak menyangka, sahabatnya berakhir ke tangan sang dosen yang dijuluki izrail oleh Nabila.
Mengingat itu, Niswah teringat kepada sosok Rian, sahabat suaminya, sudah lama laki-laki itu tidak ada kabar, setelah melepaskan sahabatnya.
"Sayang, kenapa melamun?" Tanya Hafidz yang heran melihat keterdiaman Niswah.
"Eh, gak kok, Mas. Niswah cuma lagi keinget sama mas Rian."
Mendengar itu, sontak Hafidz dan Nabila menatap Niswah lekat, bahkan Niswah sampai meneguk ludahnya kasar.
"Gak baik mikirin laki-laki lain dihadapan suami," sahut Hafidz dengan raut yang berubah menjadi dingin.
Niswah langsung gelagapan, sepertinya ia salah bicara tadi, duh Gusti. Ini bibir kenapa selancar itu berbicara, sekarang keadaan menjadi canggung begini.
Nabila yang semula terdiam ketika mengingat laki-laki yang berhasil membuat ia jatuh cinta, namun sakit seketika. Setelah kejadian setahun yang lalu, Nabila sama sekali tidak pernah melihat sosok Rian, bahkan ketika mereka berkumpul sekalipun, Rian tidak pernah bisa hadir. Ia menatap Niswah yang terlihat gugup, dengan inisiatif ia mengambil anaknya dari gendongan sang suami, dan menyerahkannya kepada Niswah.
Awalnya Niswah tampak terkejut, tapi ketika melihat mata kecil itu mengerjap pelan, hati Niswah sangat damai, ternyata begini rasanya ketika melihat mata bayi yang masih polos, menatap kita dengan kepolosan itu.
Sangat mendebarkan, dengan takut-takut ia menerimanya, mata jernih itu langsung menatap dirinya, seketika air mata Niswah jatuh, merasakan haru ketika ia membayangkan bahwa kelak anaknya sendirilah yang ia gendong.
Hafidz hanya bisa merengkuh tubuh sang istri pelan, sembari memperhatikan anak dari Nabila. Jika boleh jujur, ia pun ingin memiliki darah daging, tapi ia tidak memaksa sama sekali, biar Tuhan saja yang mengatur segala rezeki dan takdirnya.
"Sabar, Sayang. Insyaallah, jika sudah waktunya pasti diberi Allah."
"Iya, Mas. Niswah rasanya seneng banget, walaupun bukan darah daging kita, setidaknya bisa mengobati."
"Maaf, ya sayang."
Niswah tersenyum lembut, lalu menyerahkan bayi Nabila kembali kepada Dito setelah menciuminya dengan gemas. Ia menatap mata sang suami yang memancarkan raut penyesalan.
"Ini bukan kesalahan, mas. Jadi gak perlu minta maaf seperti itu."
"Ya, kan. Tapi..."
"Stttttss... Lebih baik kita pulang ke rumah, Niswah rindu sama, Mas," ucap Niswah manja, Hafidz yang melihat itu hanya terkekeh geli, istrinya ini sangat tau cara mengembalikan mood nya.
Sepanjang perjalan pulang diisi dengan candaan dan juga kegembiraan, namun tanpa di sadari oleh Hafidz, hati Niswah tengah menjerit melihat bagaimana tatapan penuh harap suami nya ketika menatap bayi mungil yang sedang ia gendong.
Bagiamana pun ia menyembunyikan luka itu, dan mencoba menutupnya, maka luka itu juga akan mencari jalan sendiri untuk timbul lagi ke permukaan.
"Sayang, kok melamun." Panggilan Hafidz membuat atensi Niswah beralih ke laki-laki yang sedang menatapnya penuh tanya.
"Gak kok, mas. Niswah lagi inget aja perjalanan Nabila sama mas Dito sampai ke tahap ini."
Hafidz tersenyum lembut, harus ia akui, jalan yang dilalui Nabila dan Dito merupakan jalan yang sangat terjal, bahkan bila ia menjadi keduanya belum tentu sanggup.
Nabila yang terlalu mencintai Rian, sampai merelakan semuanya, lalu Dito yang menunggu Nabila dengan sabar, dan Rian yang menyia-nyiakan gadis sebaik Nabila karena masih mempertahankan perasaanya terhadap Niswah, istrinya.
Jika ditelisik, semua ini bukan murni kesalahan mereka saja, akan tetapi kesalahan Hafidz, ia yang dulunya melepas Niswah untuk Rian, lalu menarik kembali wanita itu untuk tetap berada di sisinya.
Egois.
Memang, Hafidz adalah gambaran dari manusia yang memiliki keegoisan tinggi.
"Mas! Kok malah gantian, mas yang melamun?"
"Maaf, sayang. Tadi kamu ngomong apa?"
"Mas, gimana kalau kita ikut program bayi tabung?"
Hafidz tampak terkejut mendengar ucapan sang istri, tidak ada yang salah dengan pertanyaan itu, tapi mampu membuat ia meringis ngilu didalam hatinya, saat ia sadar, bahwa sang istri turut terluka mengenai keturunan ini.
"Yakin, sayang? Mas sih tidak masalah, selagi Niswah mau."
Niswah mengangguk mantap. " Yakin, mas. Mana tau ada rezekinya."
Hafidz yang semula berusaha tegar pun akhirnya tidak kuat menahan tangis, ia menghadap jendela kaca sebelahnya agar sang istri tidak tau ia sedang menangis sekarang.
Hatinya sangat hancur, setiap pembicaraan mengenai anak, ia akan teringat kesalahannya yang telah turut andil menjadi jalan kembalinya calon buah hati ke pangkuan tuhan.
"Ya Allah, betapa sakitnya hati hamba sekarang, tolong kuatkan istri hamba dari cobaan yang tiada henti ini. "
Niswah yang melihat Hafidz pun terheran, ada apa dengan suaminya?
"Mas, are you okey?"
"Eh, emmm... Okey, sayang. "
Tak lama kemudian, mereka tiba dirumah, dan langsung membersihkan diri. Tapi ada yang berbeda dari Hafidz, ia terlihat lesu dan kurang bergairah, seakan sedang ditimpa masalah yang sangat berat.
"Mas, ada apa?"
"Emm... Niswah yakin mau bayi tabung?"
"Insyaallah... Yakin, Mas. Kenapa? Mas tidak setuju?"
"Bukan, sayang. Mas hanya bertanya."
Niswah mengangguk pelan, lalu melangkah ke arah dapur, malam ini ia akan lembur mengerjakan tulisannya, yah! Sekarang Niswah menjadi seorang penulis, ia ingin menuangkan perjalananya yang semoga bisa menjadi pembelajaran bagi orang lain.
"Sehat terus yah, sayang. Insyaallah kalau udah saatnya bakal dikasih tuhan." Batin Hafidz
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku,Kamu & Seuntai Doa
Romance"Ijinkan aku berpoligami," ucap Hafidz dengan wajah tegang. Niswah menatap tak percaya lelaki dihadapannya lelaki yang ia anggap imam sempurna ternyata menjadi belati yang menusuk relung hatinya. PLAKKKKK...!!! "Aku percaya ketika tanganmu menjabat...