"Tidak ada takdir yang menghakimi penerimanya, yang ada manusia yang menghakimi bahwa takdir itu salah"
-------------------------------------
Rian Pov
Ada alasan mengapa aku mengikhlaskan hati ini terluka untuk pertama kalinya, menerima lapang dada jika suatu saat bidadariku terbangun, maka keputusannya mutlak harus aku terima, jangan katakan aku bodoh atau aku terlalu munafik, aku hanya ingin meletakkan dan memperbaiki sesuatu yang bisa aku perbaiki.
Melihat tatapan permohonan Hafidz kepada Abi-nya Niswah tadi, membuat aku tak berkutik seolah keberanianku telah di renggut paksa, jika Abi Niswah bisa menerima kembali Hafidz, bukan tidak mungkin Niswah akan menerimanya, pesimis! bisa dikatakan itulah keadaanku sekarang, sudah mundur sebelum berjuang, sangat pengecut.
Aku memandang hampa ruangan serba putih dan corak hitam dengan tatapan kosong, Lukman telah pergi sejam yang lalu setelah menemaniku di ruangannya, pria itu mendapat panggilan pasien, tinggallah aku didalam ruangan dengan segala kesakitan yang tidak ada wujudnya.
"tuhan! jika kau tau ujungnya seperti ini, mengapa harus kau hadirkan segala penyakit hati padaku?"
Ceklek!
Pintu ruangan Lukman terbuka, terlihat sahabatku masuk dengan wajah bahagia, namun terkejut kemudian ketika melihatku.
"Hafidz," ucapku ketika melihatnya jalan menghampiriku dengan senyum canggung, tanpa dijelaskanpun aku tahu penyebab kecanggungan ini.
"Asslamu'alaikum, Rian! Sedang apa?"
"Wa'alaikumsalam, hanya duduk, ada apa kau datang kemari? Lukman sedang ada urusan," jawabku mencoba sesantai mungkin.
"Sebenarnya ada urusan, tapi kebetulan ada kau juga, ya! aku juga ada sedikit yang ingin kubicarakan denganmu."
Aku hanya mengangguk dan menghampiri Hafidz yang sudah duduk tenang sambil menatapku dengan raut bahagia.Bagaimana aku harus menanggapi Hafidz, disaat hatiku sendiri kacau. Sangat tidak etis rasanya jika aku menanggapi dengan keengganan apalagi tidak menjawab sama sekali.
Mengapa harus ada keadaan sesulit ini?
Raut binar itu masih setia mendampingi wajah Hafidz, aku tau betapa bahagianya ia, kapan aku bisa merasakannya? Ketika perasaan cinta bak gayung bersambut, rasanya aku ingin berada di posisi Hafidz sekarang. Ya Allah, jangan jadikan aku manusia yang iri.
"Ada apa?" ucapku dengan nada tegas seolah-olah semua baik-baik saja, padahal hatiku sedang menjerit sakit.
"Maafkan aku, Rian." Hafidz menunduk
"Maaf untuk apa?"
"Maaf telah membuatmu merasakan sakit."
"Jika kau tau itu akan menyakiti, lalu mengapa tetap kau lakukan?" Hafidz mendongak menatapku dengan tatapan bersalah. Aku sempat tertegun meski beberapa detik kemudian aku mengubah mimikku lagi, aku tau ia merasa bersalah, tapi bagiku itu semua sudah terlambat.
"Berapa hati lagi yang akan kau sakiti lagi, Fidz? Setelah Niswah, keluargamu dan keluarga Niswah, lalu sekarang aku, besok siapa? Tak pernahkah kau sadari, betapa egoisnya dirimu hanya mementingkan kebahagianmu sendiri."
Kulihat tubuh Hafidz menegang, mungkin dia sedikit terkejut aku akan mengatakan ini, tapi biarlah, agar ia bisa intropeksi diri.
"Dulu Niswah ingin kau poligami dengan alasan untuk menyelamatkan perasaanmu dari dosa, ketika sudah ada waktu menyelamatkan diri mengapa harus kembali?kau tau Hafidz! Seharusnya ada hati yang bahagia saat ini dan kau menghancurkannya dengan berlagak menjadi manusia paling ingin bahagia,
tadi. Entah apa yang terjadi diantara mereka entahlah aku tak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku,Kamu & Seuntai Doa
Romance"Ijinkan aku berpoligami," ucap Hafidz dengan wajah tegang. Niswah menatap tak percaya lelaki dihadapannya lelaki yang ia anggap imam sempurna ternyata menjadi belati yang menusuk relung hatinya. PLAKKKKK...!!! "Aku percaya ketika tanganmu menjabat...