Part 3

30.2K 1.6K 12
                                    

Sebenar-benarnya sabar adalah ketika emosi diri ingin membludak namun tindakan kita hanya diam. (Untuk kamu yang ku sebut imam)
_______________

"NISWAH!" teriak Nabila yang langsung menjadi pusat perhatian seisi kantin.

"Astagfirullah ... jangan teriak Bila, ini bukan hutan!"

"Habis kamu, melamun mulu mikirin apa sih?"

"Menurut kamu pak Hafidz serius?"

"Aduh Niswah, gak mungkin gak serius, astaga! Ya kali cuma main-main sampe datang ke rumah." Ada benarnya juga, tapi apa yang membuat Hafidz mengkhitbahnya? Dia bukan gadis yang begitu terkenal di kampus ini.

"Sudahlah! aku hanya mengikuti takdir Allah saja, Allah yang tau apa yang terbaik untuk hambanya."

Nabila menatap temannya yang mungkin sedang ragu pada calon suaminya.

Handphone Niswah bergetar, dan di layarnya tertulis nama yang sedang ia bicarakan.

Hafidz calling...

"Assalamu'alaikum halo."

"Wa'alaikumsalam, Niswah maaf mengganggu, bisakah kita bertemu ada yang ingin saya bicarakan."

"Baiklah pak, saya akan kesana bapak share saja lokasinya."

Nabila melihat Niswah heran, apa-apaan itu, bapak?

"Kamu kenapa Bil?"

"Kamu tadi memanggil bapak? Gak ada romantis-romantisnya."

"Yah terus mau manggil apa? Yayang, beib atau habibi? Belum muhrim."
Lalu Niswah meninggalkan Nabila yang masih terlihat kesal.

Setelah menempuh dua puluh menit perjalanan sekarang Niswah sedang berdiri didepan resto tempat Hafidz menunggunya atau lebih tepatnya ia lah yang menunggu Hafidz.

Degupan jantung Niswah semakin keras tatkala ia mengingat akan bertemu dan bicara empat mata dengan Hafidz calon suaminya, matanya menatap ke jalanan kota yang terlihat ramai akan kendaraan yang berlalu lalang tiada henti.

"Assalamualaikum maaf saya telat." Niswah melihat pria yang baru saja sampai dengan wajah ramah.

"Tidak apa-apa saya juga baru sampai."
Tak lama seorang writers tiba dan membacakan menu.

"Lemon tea," ucap mereka berbarengan, melihat itu writers hanya tersenyum penuh arti lalu pamit undur diri setelah membacakan ulang pesanan.

"Niswah ada yang ingin saya sampaikan." Niswah hanya menatap lalu mengalihkan pandangannya.

"Saya ingin membatalkan ta'aruf kita."

Seperti terhantam ribuan ton beton, rasa sesak melingkupi relung hatinya, semua harapan yang baru saja ia susun hancur tak berbekas, hatinya membeku mendengar penuturan Hafidz, tak ada yang melihat air mata Niswah hendak jatuh merembes melewati pipinya saat Hafidz menundukkan kepalanya tak tega melihat Niswah yang terluka akibat pembatalan.

"Maafkan saya Niswah, tapi pernikahan tak bisa saya lakukan dengan wanita yang baru saya kenal, saya tidak bisa, saya pamit, minuman biar saya saja yang membayar."

Setelahnya Hafidz meninggalkan Niswah yang terdiam membisu, takdir mempermainkan hatinya sedemikian rupa tanpa memberinya bahagia, ada apa ini apa salahnya? Kenapa Hafidz tiba-tiba membatalkan secara sepihak tanpa alasan.

Aku,Kamu & Seuntai DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang