.
.
.Malven berjalan keluar perpustakaan dengan perasaan lelah, otaknya terkuras untuk memikirkan targetnya itu. Beberapa pasang mata tertuju lekat-lekat. Tidak seperti biasanya wajah Malven tampak pucat dan bercucuran berkeringat.
Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang peduli. Tidak ada lemparan pertanyaan untuk Malven, mereka hanya memperhatikan dan berdiam diri saja.
Menghitung menit, Malven tak berdaya dan jatuh pingsan bersamaan dengan buku dan laptopnya. Aneh sekali! Mahasiswa yang melihatnya itu berkerumun sembari bertanya kenapa kepada yang lainnya. Sampai seorang baik hati menghampiri lalu membawanya ke mobil dengan dibantu mahasiswa lainnya. Dia menancapkan gas menuju Massachusetts General Hospital yang terletak di Boston juga merupakan rumah sakit pendidikan di Harvard Medical School (HMS).
Di sisi lain, Gerry kehilangan jejak Malven padahal dia ingin bertanya soal bisnis yang tengah dijalaninya. Gerry mencari-cari Malven di kampus, tetapi tak kunjung bertemu dengannya. Dia juga menelpon Malven dan mengirimkan pesan padanya.
Seorang baik hati yang mengantarkan Malven langsung mengangkat telpon, dia mengatakan bahwa Malven kini di rumah sakit. Betapa terkejutnya Gerry saat ini setelah mendengar kabar tersebut, siang tadi pun tidak ada tanda-tanda sakit. Tanpa berpikir lama, Gerry pun menuju rumah sakit itu.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di sana. Anbi, seseorang yang mengantarkan Malven mempersilakan Gerry untuk memasuki ruangan. Perasaan cemas kini beralih ke tawaan ketika berhadapan langsung dengan Malven.
"Kenapa lo, Vin?" tanya Gerry sembari menaikkan kedua alisnya.
"Anemia hahahaa ..." Malven tertawa beberapa detik, tetapi Gerry terdiam saat itu juga. Garing! batin Gerry. Kemudian, setelah tawaannya usai Gerry melanjutkannya tawaan hingga Malven pun ikut tertawa lagi.
"Lo tau orang yang ada di depan nggak Ger?"
"Tau, dia Anbi."
"Sampaikan terima kasih, ya. Oiyah ... minta nomor rekeningnya juga, biar nanti gue transfer biaya administrasinya.
"Ah gampang! Nggak usah transfer, gue tiap hari juga ketemu sama tuh orang."
"Ok, makasih udah mau bayarin."
"Siapa juga yang mau bayarin, gue kan cuma ngasih tau," tukas Gerry padanya.
Anbi yang sudah lama di luar akhirnya masuk ke ruangan Malven untuk mengecek keadaan dan menyerahkan tasnya. Anbi tambak canggung, begitu pula dengan Malven.
"Anbi?" sapa Malven dengan meringis lalu mengucapkan terima kasih karena telah membawanya ke rumah sakit .
"Iya, maaf gue lancang masuk. Gue cuma mau ngembaliin tas lo, buku sama laptop udah gue masukin ke tas. Maaf kalo laptopnya rusak, mungkin tadi aku buru-buru masukinnya.
"Eh eh ... harusnya gue yang berterima kasih, masalah laptop mah gampang. Yang nggak gampang itu tugasnya kalo ilang semua hahahaa, tapi nggak pa-pa. Oiyah, gue nggak ada cash nih. Minta nomor rekeningnya, biar gue transfer."
"Nggak usah, gue ikhlas. Gue pulang dulu, lo sehat-sehat ya." Anbi berpamitan sembari menepuk bahu Malven dan bersalaman dengan Gerry.
"An, harusnya lo minta aja nggak pa-pa. Kalo perlu kuras semua uang Malven," canda Gerry sebelum melewati pintu.
Anbi hanya tersenyum tanggung dan melanjutkan langkahnya ke luar. Disusul oleh Malven dan Gerry setelah beberapa jam kemudian. Malven pikir ini hanya hal biasa dan tidak perlu ke rumah sakit segala, tetapi semua sudah terjadi.
"Ger, lo nginep di rumah gue ya," ajak Malven.
"Tumben, kesambet apa lo? Abis pingsan jadi gini ya hahaha ..." Tangan Gerry yang tak bisa diam itu menepuk-nepuk punggung Malven dengan keras.
"Gue butuh chef di rumah jadi gue pengen lo masakin makanan buat gue." Dengan jalan yang masih gontai, Malven masih bisa bercanda dengan sahabatnya.
"Anjay! Eh iya, ada yang mau buat website. Lumayan cuan datang lagi hahaha ... tapi kali ini agak aneh tau nggak, dalam waktu bersamaan ada 5 orang yang minta buat web. Aneh nggak sih?"
"Yaelah wajar kali ahh, tapi uang gue masih banyak nih. Terima nggak ya wkwkwk."
"Gue nginep rumah lo malam ini," pungkas Gerry tiba-tiba.
"Emang harusnya gitu, kan gue dah bilang dari awal. Gue butuh makan dan lo harus masakin." Malven mengulangi perkataannya.
Setibanya di rumah Malven, Gerry dengan santainya melempar tas ke lantai lalu membaringkan tubuhnya ke kasur. Seperti rumah sendiri yang punya kebebasan, sedangkan Malven sibuk mengecek laptopnya yang ternyata tidak ada kerusakan.
"Ger, lo mau masak atau gue pesenin pizza aja?"
"Di kulkas ada sayur?" Gerry membangkitkan tubuhnya dan mengambil HP dari tas hitam miliknya.
"Enggak sih hehe ... sisa mi instan doang," jawab Malven dengan guyonan kecil. Kemudian dia ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
HP Malven tergeletak di nakasnya, berbunyi nyaring ketika Malven baru saja memasuki kamar mandi. Awalnya Gerry mengabaikan karena tidak ingin ikut campur masalahnya. Hah masalah? Itu yang dipikirkan Gerry setelah mengangkat telpon siang tadi. Dia mengira keluarga Malven dilanda masalah yang mengharuskan Malven untuk pulang hingga ayahnya pun tidak bisa menjelaskan lewat telpon.
Setelah 3 kali berdering, Gerry mengambil lalu berteriak meminta izin untuk mengangkatnya. Dia sudah penasaran dan ya, suaranya sangat berisik hingga menganggu konsentrasinya saat membalas WA dari temannya. Emm bukan teman, tapi harapan hihiii.
Diangkatnya telfon itu di depan rumah dengan suara yang disama-samakan dengan Malven, tapi tetap saja ayah Malven sudah hafal jika ini bukanlah Malven.
"Kenapa kau yang mengangkatnya lagi?" Suara berat itu lebih tegas daripada siang tadi.
"Emm, anu om. Malven lagi mandi, dia juga lagi sakit dan emm, abis dari rumah sakit tadi," ucap Gerry terbata-bata.
"Sakit apa? Sekarang gimana keadaannya? Sudah makan? Dan kau ... kau di rumah Malven?"
Pertanyaan Arion membuat Gerry pegang kepala, Malven bilang jika ayahnya tidak peduli dan apa yang didengar tadi sudah terbukti bahwa ayah Malven itu masih peduli padanya. Lalu pertanyaan itu lebih cocok dilontarkan oleh ibu-ibu, pikir Gerry sembari tersenyum licik.
"Nanti Om tanyakan saja pada Malven, saya mau masak buat Malven, Om. Sampai jumpa ..."
Dengan cepat Gerry mematikan HP-nya. Menyerahkan kepada Malven yang baru saja selesai mandi. Malven memandang HP-nya aneh. Ada apa dengan ayah? Bau-bau nggak enak nih, gue telpon balik nggak ya ... apa ayah beneran depresi? Ahh! Jangan hanya menebak-nebak Vin, gue harus telpon. Bagaimanapun juga beliau adalah ayah gue, batin Malven sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk.
.
.
.
.
.VOTE!!
Jangan readers silent ya☺Dan selamat membaca🤗😄
KAMU SEDANG MEMBACA
VIRULEN (END)✔️
Mystery / ThrillerMalven Arion, Mahasiswa S2 di Harvard University. Ia mengalami banyak kejadian aneh setelah kepulangannya ke Kanada. Ia juga diperintah oleh ayahnya untuk mengusut kematian istrinya, atau ibu Malven sendiri. Awalnya Malven menolak karena melibatkan...