Part 20 || Secuil Kebenaran

32 11 5
                                    

Malven memandangi rumahnya, tak ada yang aneh apalagi mencugai kalau Sean adalah orang jahat. Dengan ragu Malven mulai melangkahkan kakinya, mengendurkan sabuk karena terasa sesak, dan melenturkan tangannya seperti orang yang tengah melakukan pemanasan sebelum bertanding di atas ring.

Meyakinkan diri sembari menarik napas panjang lalu berdoa.

Tok tok tok ... Malven mengetuknya dengan keras. Ia mencoba mengetuknya lagi.

"Tidak ada orang, pergilah!" titah seseorang dari dalam.

Malven tidak bodoh, ia yakin yang menjawab tadi adalah Sean. Ia juga menyesal tidak mengajak Gerry hingga Malven harus menghadapinya sendiri.

"Apa benar ini rumah tuan Sean?" Malven berteriak dari luar, merapikan bajunya dan melihat arloji yang melingkar di tangannya.

"Kau mencariku anak muda?" Sean membukakan pintu, merasa senang karena ada yang mencari dirinya.

"Iya, apakah Anda Sean?" tanya Malven sopan sembari menampakkan gigi rapinya.

"Benar, tapi harusnya kau membawa bingkisan ke sini. Sekarang pergilah! Saya tidak menerima tamu dengan tangan kosong." Sean menutup pintunya keras setelah melihat Malven yang tidak membawa apa-apa.

"Gue bawa palu di bagasi, bisa disebut bingkisan nggak?" guman Malven. Ia menampar pipinya untuk menyadarkan hal bodoh itu. Menarik sudut bibir dengan sempurna karena merasa aneh pada Sean, tidak seperti yang dibayangkan justru Sean tampak santai dan konyol.

Malven kembali ke mobilnya lagi, mencari bingkisan yang cocok untuk orang tua itu. Sungguh merepotkan. Ia ke sana untuk menanyakan informasi, bukan menjadi pelawak bagi dirinya sendiri. Sesekali Malven tertawa sendiri, menetertawakan diri sendiri karena dia harus pergi demi mencari bingkisan.

"Kalo Gerry ada di sini, gue mungkin nggak repot cari sendiri," katanya lagi yang masih tertawa.

30 menit kemudian ...

Malven sudah ada di depan rumah Sean. Mengetok pintu dan memanggil namanya sopan.

"Sudah kubilang pergilah anak muda." Sean mengusirnya. Dia hafal dengan suara Malven yang disapa anak muda tadi.

"Tapi saya sudah membawa bingkisan untuk Anda." Malven berharap Sean mau menemuinya.

"Benarkah?" Kedua pintu dibuka lebar oleh Sean.

Terlihat sosok yang gagah, berkharisma dan penuh wibawa. Sean yang tidak memakai baju itu memperlihatkan perut sixpack-nya.

"Kenapa Anda tidak memakai baju? Bukankah hawanya sedang dingin?" kata Malven ... padahal saat awal Sean memakai baju rapi.

"Saya sedang olahraga," balasnya yang kemudian mempersilakan Malven duduk.

Rumah minimalis yang rapi juga bersih, Malven suka itu.

"Tubuh Anda sangat bagus, pasti Anda menjaganya dengan baik." Malven basa-basi ... memberikan pujian untuk mencairkan suasana.

"Tentu. Apa tujuanmu ke sini anak muda?" tanya Sean sembari memakai kaos hitam yang melekat pas di tubuhnya. Sempurna.

"Apa Anda benar-benar Sean?" Malven memastikan. Tidak ingin dirinya salah orang dan sia-sia kembali lagi dengan membawa bingkisan.

"Ya, saya Sean. Apa perlu saya mengambil akta kelahiran?" Sean bangkit dari bangkunya-hendak mengambilkan akta agar Malven percaya. Namun, Malven menahannya dan menyuruh Sean duduk kembali.

"Kau tau alamat saya dari mana?" tanya Sean lantas membuka bingkisan dari Malven yang sudah tergeletak di meja.

"Dari Gala, supir pribadinya Arion dulu," jawabnya ragu. Entah Sean akan memercayainya atau tidak.

VIRULEN (END)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang