Part 26 || Nostalgia

21 7 4
                                    

Malven menggendong Meisha ke sofa. Gadis itu masih menangis-menutup wajah dengan kedua tangannya. Malven mengambilkan air mineral agar Meisha sedikit lebih tenang.

Perasaan Malven tak karuan bingungnya. Apa karena foto yang dihapus tadi, Meisha sesedih itu? Malven masih bertanya-tanya dalam hati.

"Meisha," panggil Malven yang tetap tidak mendapat jawaban dari Meisha. "Maafin gue," ucapnya lagi.

"Minum dulu." Malven menyodorkan gelasnya. Tanpa berpikir lama, Meisha meneguknya dengan cepat.

"Gue tunggu lo cerita sampai benar-benar tenang," gumam Malven di sampingnya.

Mendengar Meisha yang menyedot ingusnya kasar, Malven mengerjapkan matanya satu detik dengan kepala yang reflek ke belakang karena kaget. Dengan segera Malven bangkit untuk mencari tisu karena risih mendengarkan suara menjijikan itu.

"Makasih." Meisha buka suara saat Malven memberikannya sekotak tisu.

"Lo cerita aja kalo ada apa-apa," ucap Malven. Gadis itu kembali terdiam sambil mengeluarkan ingus. "Em, oke, gue nggak maksa lo buat cerita, tapi seenggaknya lo jangan sedih kayak gini," kata Malven seraya menangkup pipi Meisha.

Meisha hendak menyenderkan kepalanya ke sofa, tetapi ditarik oleh Malven hingga kepalanya bersender ke bahu Malven.

"Emang gue nggak pantas buat bahagia, ya?" gumam Meisha dengan napas yang mulai normal. Pandangannya mengarah ke foto dirinya saat masih berusia 13 tahun yang ada di atas nakas.

Malven tersenyum setipis mungkin. "Semua orang berhak bahagia, hanya saja ... kadangkala manusia tidak menyadari dirinya bahagia," jawab Malven.

"Maksudnya?"

"Definisi kebahagiaan itu luas. Sederhananya, orang yang menerima kehidupan dengan baik sudah disebut dia bahagia." Perkataan Malven masih belum dimengerti Meisha.

"Seringkali manusia tidak puas dengan pencapaiannya. Selalu ingin lebih, dan lebih. Tidak ingin orang lain menyamainya. Oleh karena itu, seseorang berusaha melakukan apa pun untuk berada di atas. Jika tidak sampai pada impiannya, seseorang itu akan kecewa dan merasa dirinya tidak bahagia. Otak keserakahan itu membuat manusia berpikir tertutup," urai Malven yang diangguki Meisha.

"Jika diamati, manusia serakah itu hanya terfokus pada kebahagiaan dan pujian saja. Sebenarnya kebahagiaan tidak untuk dicari dan dijadikan tujuan hidup. Karena kebahagiaan akan muncul dengan sendirinya tanpa perlu dicari. Jadi, cukup nikmati perjalanan hidupmu dengan baik," imbuh Malven.

"Ya, aku salah. Aku masih hidup sampai sekarang karena aku ingin bahagia. Namun, aku belum merasakannya," kata Meisha yang berdiri menuju jendela untuk melihat dunia luar yang begitu luas.

"Hal-hal kecil yang aku lakukan tidak pernah menganggapnya sumber kebahagiaan. Aku pernah mendapatkan IPK 3.7, saat itu aku merasa bangga sudah mendapatkan angka itu. Namun, setelah mendengat sahabatku dengan IPK 3.8 ... kesedihan itu muncul ke permukaan hingga menenggelamkan rasa kebahagiaan itu sendiri. Aku jadi merasa kacau, dan merasa aku memang tidak pantas menerima kebahagiaan itu." Malven bercerita.

"Lalu, kenapa kamu menanyakan perihal kebahagiaan?" tanya Malven formal karena terbawa suasana.

"Sebenarnya bukan itu yang mau kuceritakan ...."

"Lalu?"

"Aku hidup dari keluarga yang pas-pasan. Dituntut mandiri agar tidak terlalu banyak merepotkan orang lain."

Meisha belum melanjutkan ceritanya lagi. Terlihat dari raut wajah itu seperti menahan buliran air mata. Dia masih belum sanggup menceritakannya lagi.

"Nanti saja," sahut Malven yang mengerti perasaan Meisha. Menyuruhnya istirahat terlebih dahulu agar meningkatkan kembali energi yang terbuang setelah menangis itu.

VIRULEN (END)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang