Diamku untuk berpikir dan mengolah emosi agar tetap terkendali.
~Malven Arion~
Ruang makan begitu megah nan mewah membuat Gerry canggung dan ingin kembali ke kamar Malven.
"Vin, gue makannya nanti aja, ya," bisik Gerry. Arion melirik datar sembari menyuapkan sayur ke mulutnya.
"Diem, sini aja," ucap Malven yang terlalu keras hingga terdengar oleh Arion beserta pengawalnya yang ada di belakang.
Gerry terseyum tanggung, memutar bola mata dengan malas.
"Emm ... saya makan nanti aja ya, Om." Gerry bangkit dari kursi putih itu, kakinya tak bisa berbohong. Gemetar tak terkendali, mulutnya pun terasa kaku untuk berbicara.
"Tidak ada yang boleh makan di kamar kecuali sakit," jawab Arion dengan datar dan meneruskan makanannya.
Oh, gitu ya. Apa gue makan di lantai aja? Serem liatin bokap Malven, kayak harimau lapar, batin Gerry.
"Baik, Om." Gerry mengambil nasi dan sayur, lalu berpindah ke lantai kinclongnya.
"Tidak ada yang makan di lantai seperti pembantu, duduklah di kursi dengan tenang." Arion kembali berkata.
"B-baik, Om."
"Makannya jangan banyak tingkah, lo di sini itu tamu, tapi kalo mau jadi pembantu juga boleh," timpal Malven dengan tersenyum puas.
Mereka menikmati makan malamnya dengan hikmat, tidak lagi memperlihatkan tingkah konyol Gerry dan bahkan dia sedang lahab-lahabnya makan sampai lupa dia telah menghabiskan 2 piring nasi dan sayur.
Awalnya malu, lama-lama malu-maluin, dasar Gerry, batin Malven sembari minum, tetapi matanya masih tertuju pada Gerry.
Arion mulai bangkit dari kursinya, seketika Malven berucap bahwa dia akan kembali ke Amerika.
"Pah, besok Malven akan kembali ke Amerika." Dengan suara cepat, jelas, tegas dan lantang.
"Tidak bisa! Kau lupa dengan apa yang kau katakan sore tadi?" Sambung Arion yang sama menggunakan suara lantangnya.
"Jangan marah dulu, Malven ingin menjalankan misi dari sana. Kata papah, dia ada di Harvard." Jelas Malven yang sudah memperkecil suaranya.
"Oh, okelah. Papah kasih waktu 2 tahun untuk mencarinya, setiap hari kau harus mengabari perkembangan pencarian gadis itu kepada papah. Kau tidak boleh melanjutkan kuliah, kau fokus saja untuk mencari gadis itu."
Ahh! Masih lama, lanjutin dulu juga ngga bakal ketauan, batin Malven yang sedikit tenang.
"Iya."
-----------------
Di kamar, Malven menyendiri untuk menenangkan pikirannya. Berdiri di balkon dengan menatap bulan yang sebagian tertutup oleh awan kelam.
"Apakah aku seperti bulan di atas? Indah, tetapi tertutup awan hingga keindahannya tak begitu jelas. Aku ini orang baik, hanya diselimuti kejahatan dari keluarga sendiri hingga mungkin nantinya kebaikanku tak dipandang lagi oleh orang sekitar. Apakah aku harus menjauh? Atau menghadapinya perlahan?" pinta Malven yang masih menatap bulan.
"Gue terkejut denger lo dengan kata-kata menakjubkan kayak gitu, sungguh luar biasa." Kemunculan Gerry membuyarkan pikiran Malven.
Seketika Malven menolehnya, mengubah ekspesinya dengan malas dan kembali menatap bulan.
"Sejak kapan lo ada di situ?" tanya Malven sembari memasukkan tangannya ke saku celana.
"Sejak kata-kata mutiara lo muncul." Gerry tertawa terbahak-bahak hingga memukul punggung Malven.
"Hissh ... apaan sih lo, tidur sana! Ganggu orang aja."
Saat Gerry melangkahkan kakinya untuk menjauh, Malven memanggilnya lagi untuk membicarakan sesuatu hal.
"Ger,"
"Emm, lo bener. Gue ngantuk berat jadi gue harus tidur," ucap Gerry setelah mengecek HP-nya.
"Kayaknya gue harus belajar dari lo deh." Kata-kata Malven membuat Gerry melotot.
"Hah? Belajar apa? Lo udah pinter, justru gue yang harus belajar ke lo, ahh gimana sih ..." jawab Gerry seraya mengacak-ngacak rambutnya.
"Bukan itu maksud gue," belum selesai melanjutkan perkataan, Gerry memotongnya.
"Terus apaan?" sambung Gerry yang tak sabar.
"Makannya dengerin dulu!"
"Emm ... "
"Gue belajar ke lo mengenai kamus cinta, apa aja yang disukai wanita, mulai dari perkataan, penampilan, atau apa pun itu lah."
Gerry tersenyum kecil sekejap, "Lo sangat pintar dalam hal pengetahuan akademik dan teknologi, tapi lo bodoh dalam kasus cinta seperti ini. Emm, mari belajar dengan masternya whahaahaa ..." Gerry kembali tertawa keras.
"Jangan keras-keras, nanti bokap gue denger bisa kacau semuanya."
Demi Meisha untuk tetap selamat, apa pun itu akan gue lakukan, batin Gerry.
"Iya iya iya." Gerry melanjutkan langkahnya menuju kasur.
"Eh, dasar anak orang main pergi aja. Belum juga kelar ngomongnya." Malven mendengkus kesal.
Dia mengambil buku kecilnya untuk menuliskan sesuatu. Rutinitasnya setiap hari untuk menceritakan perasaan yang dialaminya.
Aku tak berniat untuk membunuh siapa pun, aku berasal dari keluarga yang baik, terpandang, dan terhormat. Tidak mungkin aku melakukan hal gila demi permasalahan yang tidak masuk akal ini.Kalau pun esok aku melakukannya, anggap saja sebuah kecelakaan dan tak benar-benar aku inginkan. Jadilah wanita tangguh yang membuatku yakin bahwa kau tidak pantas untuk dibunuh.
Jatuh cinta pada seseorang tak bisa secepat itu, apalagi yang pada dasarnya belum memikirkan wanita pendamping hidup sebelumnya. Maafkan aku yang mengaku mencintai dan menyayangimu, tak bermaksud menipu ataupun bermuka dua. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk menutupi identitas keluarga yang akan membuatmu terkejut bahkan terbujur kaku.
Tertanda,
Malven Arion.
Malven kembali ke kamarnya setelah menutup dan memasukkan buku kecilnya ke saku celana. Pikirannya terus memutar tugas akhir yang belum sempat ia selesaikan, membuat Malven tidak bisa tidur dan diam-diam membuka laptop untuk meneruskannya kembali.
Setelah beberapa jam, waktu menunjukkan pukul 3 am., tapi Malven belum juga mengantuk. Akhirnya dia berkemas untuk perjalannnya sore nanti.
Mungkin terlihat aneh dengan kepulangan ke Kanada dengan begitu cepat, apakah tidak ada ketundaan yang terjadi?
Tak disangka Gerry menolak berangkat ke Amerika dengan alasan belum berlibur di sini. Namun, bukankah memang tidak berniat untuk bersenang-senang?
•
•
•
•JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN
Kalian bisa kunjungi instagram saja di @nurul_aliya088
KAMU SEDANG MEMBACA
VIRULEN (END)✔️
Misterio / SuspensoMalven Arion, Mahasiswa S2 di Harvard University. Ia mengalami banyak kejadian aneh setelah kepulangannya ke Kanada. Ia juga diperintah oleh ayahnya untuk mengusut kematian istrinya, atau ibu Malven sendiri. Awalnya Malven menolak karena melibatkan...