Part 7 || Penemuan Malven

67 19 12
                                    

Author POV

Setelah mereka bertiga sarapan, Gerry mengajak Malven ke kolam renang.

"Dari pada nganggur rebahan mulu, renang yuk. Mumpung gratis di sini, lama juga ngga berenang," bisiknya sembari tersenyum ria.

"Gue ngga tidur semalaman, gue ngantuk."

"Emang gue pikirin? Ayo lah, temenin doang. Gue takut bokap lo dateng saat gue lagi sendiri, bingung mau ngomong apa tau ngga," celethuk Gerry.

"Emang gue pikirin?" jawab Malven padanya.

"Rese banget jadi orang! Ada waktu buat tidur tuh gunain baik-baik, jangan mikirin Meisha terus. Ehh? Lo mikirin Meisha?" Wajah Gerry spontan mendekat pada wajah Malven. Dia takut nantinya Malven akan benar-benar mencintai gadis pujaan hatinya yang telah lama jadi incaran. Bagaimana tidak? Gadis dengan tubuh mungil dan berambut emas kecoklatan, serta senyum manisnya sukses membuat Gerry candu.

Ingin menyapa pun ia tak bisa karena perasaan malu mendominasi dirinya. Hanya bisa melihat dari kejauhan sembari tersenyum dan berangan akan menjadi miliknya kelak.

"Gue beres-beres baju! Ngga usah nebak hal yang jauh dari prinsipku!" tegas Malven yang mengetahui pikirannya. Namun, Gerry tak cukup paham dengan omongan Malven. Ia mengangguk agar Malven tidak jadi marah padanya.

"Ayolah Vin, berenang sebentar. Nanti lo tidur aja ngga pa-pa, asal gue ngga di sana sendiri," ajaknya lagi dengan nada melasnya.

Malven hanya menjawab, "Hmm." Kemudian dia berjalan menuju kolam renang. Jaraknya cukup jauh dari kamar Malven, mengingat rumah yang besar itu membuat Gerry kewalahan berjalan hanya demi sebuah kolam.

Terdapat penginapan untuk pembantu di sana, tetapi sampai detik ini Malven dan Gerry tidak pernah bertemu dengan pembantu yang setiap harinya memasak dan membersihkan rumah.

Dengan bersemangat Gerry membuka kaos hitamnya lalu terjun bebas ke kolam renang itu, sementara Malven sibuk memperhatikan sekitar yang tampak asing di matanya. Sudah lama ia tidak mengelilingi rumah ayahnya dan banyak sekali perubahan yang terjadi pada rumah ini sejak kepergian sang ibu.

Malven mengabaikan Gerry yang tengah asik bermain air seperti anak kecil yang tidak pernah berenang di kolam renang. Ia mengunjungi penginapan pembantu itu, barangkali ia bertemu dengan seseorang untuk pemberitahuan informasi mengenai ayahnya. Namun, semua kosong. Pintu tidak dikunci dan lemari pun tidak ada sehelai pakaian yang tertata di sana. Ada apa dengan rumah ini? Siapa yang memasak makanan pagi, siang dan malam? Dan siapa yang membersihkan rumah setiap harinya? Mereka hanya tahu keadaan rumah yang senantiasa bersih, juga makanan yang selalu ada di jam makan utama.

Saat sedang keluar dari ruangan itu, Malven melihat sesuatu yang ia curigai. Tembok tak rata dengan polesan cat yang luntur membuatnya penasaran. Kenapa rumah ini tampak tidak diperhatikan? Bahkan tembok retak pun tak kunjung diperbaiki, bagaimana jika retakan itu jatuh? pikir Malven sembari mencari alat untuk meruntuhkannya sekalian.

Ini harus segera diperbaiki, emm ... ini mungkin harus dihancurkan lebih dulu, batin Malven yang belum menemukan alat. Ia akhirnya mengetuk-ngetuk tembok terlebih dahulu. Bunyi nyaring membuatnya semakin terkejut, lalu membandingkan dengan tembok sebelahnya. Sakit! Karena ia mengetuk lebih keras di sebelahnya.

Untuk melunasi rasa penasaran itu, Malven membukanya dengan tangan, toh itu bukan tembok beneran yang terbuat dari batako dan semen. Mencongkel secara perlahan dan ...

Gluprak ...

Benda yang menempel itu terjatuh ke lantai. Malven tak bisa berkata banyak, tubuhnya kaku, matanya melebar, tangannya dengan spontan menutupi hidung. Napasnya naik turun tidak karuan, masih tidak percaya apa yang dilihatnya sekarang ini. Bangkai manusia! Busuk dan kulitnya pun hampir tidak ada!

Apa Arion yang membunuhnya? Tapi kenapa? Ia berteriak histeris sembari melangkahkan kakinya menjauhi penginapan itu.

"Papah papah papah ...." Teriaknya dengan sekeras-kerasnya. Gerry yang mendengar suara Malven pun dibuat bingung dan takut. Ia menyudahi berenangnya dan segera memakai kaos hitam tadi lalu menyusul Malven.

Sampai tiba di ruang peristirahatan Arion, Malven dengan lancar memberitahukan apa yang dilihatnya tadi.

"Pah, Malven tidak sengaja ke penginapan di seberang kolam renang selatan, dan Malven pun tidak sengaja menemukan mayat di antara tembok-tembok itu. Apakah papah pelakunya? Dan siapa mayat itu? Apakah mamah? Kenapa papah menyembunyikannya dari Malven dan bilang bahwa ibu Meisha yang melakukannya. Apa sebenarnya rencana papah?!" Suara lantang itu memenuhi ruangan, Gerry hanya berdiam diri di luar. Tidak berani masuk karena ruangan itu hanya untuk orang tertentu saja, kata pengawal Arion.

Arion dibuat terkejut dengan temuan Malven. Bagaimana bisa Malven berkeliaran sampai ke penginapan?

"Apa yang kau bicarakan? Coba duduklah dulu," Arion mencoba bersikap setenang mungkin walau dirinya meronta saat itu juga.

"Apa kurang jelas pertanyaan Malven tadi? Aku cuma butuh penjelasan dan kejujuran dari seorang ayah!" Detak jantung Malven tidak karuan, begitu cepatnya jantung memompa ke seluruh tubuh--tidak seperti biasa.

"Bukan, itu bukan mamahmu. Mamahmu sudah terkubur di tanah, kau pun tau itu, 'kan? Papahmu sangat mencintai mamahmu, tidak mungkin papah sendiri yang membunuh apalagi menaruh mayatnya bersamaan dengan tembok. Cobalah berpikir secara logika," urai Arion.

"Lalu, dia siapa? Kenapa tidak dikubur?" Pertanyaan Malven masih berlanjut.

"Dia seorang pengkhianat di keluarga kita, dia pantas dibunuh. Diam-diam dia menjadi mata-mata di rumah ini untuk kepentingan Lila, ibu dari Meisha itu. Dia kakak Meisha yang menyamar sebagai pembantu untuk membantu Lila merencanakan misi pembunuhan terhadap mamahmu dulu. Papah tidak sengaja mendengar percakapannya dengan Lila setelah mamahmu baru saja dimakamkan. Papah masih sabar dan menunggumu pergi untuk bisa membunuh dia, dan papah tidak ingin orang lain tau akan hal ini. Jadi, papah menyembunyikannya di penginapan itu," Arion menjelaskan dengan sedih.

"Kenapa tidak dilaporkan ke pihak yang berwajib? Dengan begitu, papah pun tidak terjerat kasus pembunuhan." Malven takut jika ayahnya akan dipenjarakan.

"Takut? Sampai saat ini pun papah masih damai, Vin. Tidak ada yang mengetahui kasus ini, bahkan ibu Meisha pun tidak mengetahuinya."

"Lalu, siapa yang melakukan kegiatan rumah setiap hari?"

"Sejak kejadian itu, papah tidak lagi menerima pembantu. Anak buah papah yang melakukan itu semua dengan bayaran ekstra."

Mendengar cerita sang ayah, Malven semakin tidak tega untuk membunuh Meisha. Walaupun memang tidak benar-benar membunuh, tapi ia kasihan jika harus mempermainkan perasaannya. Meisha sudah tidak punya siapa-siapa lagi, lalu bagaimana ia bisa bertahan hidup menghadapi kerasnya dunia?




>> Gimana menurut kalian? Next?
>> Apa pekerjaan Meisha sekarang hingga mampu untuk bertahan hidup dan bahkan menjalani S2-nya di Harvard?
>> Tulis di kolom komentar yakk><

Jangan lupa

VOTE
KOMEN
Tambahkan ke perpustakaan kalian
Dan
Follow akun ini

SEE YOU💙
HAPPY READING🤗

VIRULEN (END)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang