Paginya, suasana sudah riuh karena ulah Gerry dan Meisha. Mereka berebut jaket yang mana salah satu dari mereka tidak mau mengalah. Suara teriakan, omelan dan cibiran terdengar jelas dari dapur. Malven sengaja memukul wajan dengan spatula silikon lebih dari lima kali menandakan mereka berdua untuk menghentikan pertengkarannya.
Namun, tidak sesederhana itu untuk membuat mereka berhenti. Justru mereka melanjutkan walau sudah mendengar suara getokan dari Malven tadi.
Tidak tahan mendengarnya, Malven ke kamar untuk melihat keadaan mereka. "Bisa nggak sih, nggak ribut gitu. Kayak anak kecil aja," titah Malven sambil menggebrakan tangan ke pintu.
Mereka saling terdiam, tetapi tangannya masih aktif berebut jaket. "Kenapa ribut lagi? Pusing gue dengernya," ujar Malven yang masih di tempat-satu meter dari pintu.
"Jaket gue, Vin. Diambil sama Meisha." Gerry tidak terima jaket kesayangan berwarna biru dongker itu dipakai oleh Meisha.
"Ya udah, pinjemin aja sih," kata Malven santai.
"Gue mau ngampus, suhu masih dingin. Mana itu jaket kesayangan gue, lo kan tahu itu Vin," ujar Gerry.
Malven beralih melihat Meisha yang sedang berdiri kaku di sebelah Gerry. "Gue nggak punya jaket. Em, maksud gue ada di apartemen gue. Gue juga kedinginan," ucap Meisha dengan wajah memelas.
"Pake punya gue." Malven menawarkan sambil mencari di lemarinya.
"Gue maunya punya Gerry, bahannya enak dipake," tukas Meisha dengan bola mata penuh permohonan.
"Heh, nggak!" sahut Gerry.
"Ger," panggil Malven seraya menggelengkan kepalanya pelan. "Lo pake punya gue." Malven menyerahkan jaket miliknya kepada Gerry.
"Tap-."
"Udah, sehari doang." Malven memotong pembicaraan Gerry. Sebenarnya tidak rela jaket kesayangannya itu jatuh kepada orang lain, apalagi wajah Meisha yang sumringah dengan senyum tipis sedikit miring-meledeknya.
Gerry mengepal erat tangannya, berusaha mengontrol emosi dan tidak mau dirinya dipermalukan. Akhirnya dia menerima jaket pemberian Malven lalu Gerry langsung keluar kamar.
"Pake aja nggak apa-apa," kata Malven pada Meisha yang juga pergi.
"Lo nggak mau sarapan dulu?" tanya Malven sebelum ke dapur untuk melanjutkan aktivitasnya.
"Nggak! Di luar aja lah. Terlanjur nggak mood sama tuh orang," ujar Gerry yang perlahan menghilang-meninggalkan apartemen.
"Katanya suka, tapi kok gitu," ledek Malven sembari terkekeh melihat sikap Gerry itu. Untung saja Gerry sudah tidak ada, jadi dia tidak bisa mendengarkan perkataan Malven barusan.
Makanan sudah siap dan tertata rapi di meja. Belum sempat memanggil Meisha, gadis itu sudah muncul duluan.
"Gue diundang makan sama wangi masakan lo," kata Meisha yang terduduk di kursi dengan nada santai dan sedikit menampakkan giginya.
"Makan aja," ucap Malven yang semula bingung mengucapkan apa padanya.
"Siap," balas Litha disertai senyuman.
Setelah mereka berdua selesai sarapan, Malven mengajak Meisha ke ruang tengah-menyuruhnya duduk santai karena ada yang mau Malven katakan. Kesempatan baginya saat Gerry tidak ada, tetapi tetap saja dia harus mewaspadainya.
"Lo mau ngapain?" tanya Meisha dengan tatapan bingung.
"Santai aja, gue nggak mau ngapa-ngapain lo," balas Malven diikuti anggukan Meisha.
"Gue mau bicara serius sama lo. Tolong jawab jujur, mengerti?!" kata Malven lagi yang mulai mengunci pandangannya.
Meisha tersenyum 2 detik. "Serius? Aduh, Malven. Gue belum siap nikah, jangan buat gue deg-degan deh ... nih jantung gue memacu lebih cepat," pinta Meisha sambil menempelkan tangan kanannya ke dada karena memang benar jantungnya sedang berdebar luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIRULEN (END)✔️
Mystery / ThrillerMalven Arion, Mahasiswa S2 di Harvard University. Ia mengalami banyak kejadian aneh setelah kepulangannya ke Kanada. Ia juga diperintah oleh ayahnya untuk mengusut kematian istrinya, atau ibu Malven sendiri. Awalnya Malven menolak karena melibatkan...