01. Hereditary

8.2K 418 22
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***

Sorot mata yang mengumbar kebencian menatap seluruh penjuru kamar. Hujan bersamaan dengan sahutan para guntur tidak membuat ia takut sedikitpun.

Dua hari, Junhwa terjebak di dalam mansion Jaemin. Di kamar yang lembab dan sedikit gelap. Cat dan furnitur di kamar ini seolah dipilih dengan warna gelap.

"Nona, maaf. Pakaiannya sudah saya simpan di dalam lemari."

Junhwa menoleh, pelayan tempat itu nampak menutup pintu. Junhwa tidak tau kapan ia masuk ke dalam kamar dan menyimpan pakaian.

Oh iya, Junhwa sedikit beruntung. Karena sejak ia memasuki mansion ini ia menjadi tau satu hal.

Seluruh pelayan perempuan di mansion ini memiliki usia yang cukup muda. Satu atau dua tahun berbeda dengan Junhwa. Entah itu lebih tua atau lebih muda. Yang jelas, perempuan itu berjumlah sepuluh orang.

Junhwa menarik diri dan selimut yang masih melilit di tubuhnya menuju lemari. Membawa beberapa pakaian kemudian membawanya ke dalam kamar mandi.

Ia harus membersihkan tubuhnya. Tapi tidak bisa membersihkan bekasnya. Junhwa benci itu.

Harum bunga mawar menyeruak memenuhi penjuru kamar mandi. Lilin aroma yang sama juga semakin membuat dirinya rileks. Junhwa merebahkan dirinya di dalam bath-up yang dia isi setengahnya. Ia juga tidak akan lama-lama berendam berhubung diluar sedang hujan.

Suara ketukan di pintu kamar mandi membuat Junhwa harus kehilangan waktunya lagi. Disusul oleh suara salah seorang pelayan yang menyuruhnya untuk segera keluar.

"Tuan muda sudah menunggu di ruang makan, ada temannya juga."

Teman? Kira-kira siapa? Tidak mungkin Johnny bukan.

Junhwa keluar dari dalam bath-up, segera menuntaskan kegiatannya dan lekas berpakaian. Tidak ada polesan riasan, hanya sedikit menyemprotkan parfum dan mengoles sedikit pewarna bibir. Junhwa tidak mau disangka sakit atau sejenisnya karena bibirnya yang pucat.

"Siapa yang datang?" Tanya Junhwa.

"Lee Jeno, anda mungkin mengenalinya nona."

Oh Jeno. Junhwa pikir Johnny sang Kakak. Tapi nampaknya Johnny sudah tidak peduli bahkan jika ia mati di tempat ini. Atau harus merasakan apa yang dirasakan Jaehyun pada malam itu.

"Lo seger banget kayaknya tinggal disini?" Tanya Jeno yang terlihat sedang menyicipi kudapan bersama Jaemin.

"Habis mandi, masa iya gak keliatan segeran. Lo tuh, buluq banget!" Jawab Junhwa.

Junhwa bergabung, duduk di antara dua pria yang seperti sedang merencanakan suatu hal. Namun mereka menutupinya karena kedatangan Junhwa.

"Kakak lo gak kesini-kesini?" Tanya Jeno.

Junhwa mengedikkan bahu, "mana gue tau!"

Jeno tertawa lebar, "emang dia lebih sayang Sunhwa dari pada lo."

Jaemin berdesis pelan, berusaha menyadarkan Jeno bahwa ucapannya akan menyakiti gadisnya.

"Gue udah bilang sama Kakak lo, ya mungkin lo belum bisa pulang ke rumah. Tapi dia nitipin lo ke gue," ujar Jaemin. Syukurlah, Junhwa merasa sedikit lega.

"He will treat you better." Ucap Jeno sambil menatap ke arah Jaemin.

"I know."

Memperlakukan dengan baik, memang. Jaemin membuat Junhwa hidup seperti seorang ratu. Semua kebutuhannya terpenuhi. Tapi tidak jika suatu waktu Jaemin berubah.

"Kapan nih, lo mau balik ke kampus?"

Junhwa menuang teh ke dalam cangkirnya, "gak tau, gue mau fokus tenangin diri dulu." Ia kemudian mengesap teh beraroma vanila itu, "di kampus pasti banyak rumor yang beredar kan."

Jaemin yang sedari tadi diam kini beranjak dari tempat duduknya. Mengajak Jeno untuk pergi ke halaman belakang. Berhubung hujan sudah reda sejak dua puluh menit yang lalu.

"Lapangan tembak, gue gak mau kena becek habis hujan." Ujar Jaemin saat melihat Jeno memasang wajah bingung. Sedangkan Junhwa, gadis itu kembali ke dalam kamarnya.

Jeno mengiyakan ajakan Jaemin. Tuan muda Na itu segera pergi ke lapangan tembak. Yang mana tempatnya setengah tertutup. Tidak usah repot-repot untuk terkena becek bekas hujan.

Kedua pria itu mulai memakai perlengkapan menembak masing-masing. Dibantu oleh para pelayan yang terkadang bersikap manja atau terkadang menggoda jika Jaemin membawa teman prianya.

"Stop, bitch. Jangan buat tamu saya gak nyaman," peringat Jaemin pada seorang pelayan yang malah menggoda Jeno. Wajah Jeno terlihat begitu risih. Sudah lama pria itu tidak bermain dengan wanita. Hatinya ia jaga untuk orang lain.

"Lo duluan," ujar Jaemin pada Jeno. Pria itu sudah mulai mengambil posisi. Mata kirinya tertutup dan mata kanannya fokus pada target.

Jeno menarik pelatuk pistol yang digunakannya. Mengenai sasaran, namun mendapat poin kecil. Ringisan kecewa terdengar setelah melihat pelurunya tidak sampai pada pusat target.

Kini giliran Jaemin. Dengan waktu singkat, pria itu mengenai sasaran. Tepat pada pusatnya. Jaemin tersenyum bangga, namun Jeno tidak mau kalah. Pria itu kembali memposisikan diri dan segera menyusul Jaemin mencetak skor sempurna.

"Ngomong-ngomong. Lo gak mau jengukin Jaehyun?" Tanya Jeno.

"Nanti, belum saatnya."

Kedua pria itu kembali pada kegiatan masing-masing. Tapi Jeno menurunkan senjatanya setelah terlintas suatu hal.

"Na, tanah yang ada di pinggir lo masih kosong?" Tanya Jeno.

Jaemin masih fokus pada kegiatannya, namun masih sanggup menjawab Jeno. "Masih, mau bikin apa lo?"

"Panahan oke juga kayaknya. Udah lama gue gak main panahan. Terakhir main pas jaman SMA."

Jaemin kehabisan peluru, ia menyuruh pelayan pria untuk mengisinya lagi. "Boleh juga, gue hubungi pemiliknya kapan-kapan."

"Kira-kira kalau lokasi eksekusi pindah kesana asik juga. Dibikin kayak gudang, biar gak terlalu keekspos. Ya, meskipun mansion lo jauh dari kota tapi tetep aja."

Jaemin menahan dagu dengan lengan kanannya, kepalanya berputar memikirkan maksud dan tujuan dari ucapan Jeno.

"Gak, bertahun-tahun kita main di rooftop ngapain mau pindah? Lagian semua udah kebagian permainannya masing-masing. Jaehyun yang terakhir kan?" Tanya Jaemin.

Jeno mengangguk, tiga tahun yang lalu Jeno mendapat bekas luka sayatan di bagian punggungnya. Cukup besar, bahkan hanya akan hilang jika dilakukan prosedur operasi.

"Iya juga sih."

Jaemin kembali mendapatkan pistolnya yang sudah terisi penuh oleh peluru. Ia kembali mengarahkan senjatanya pada target.

"Ngomong-ngomong gue jadi kepikiran sesuatu."

"Apa?"

Jaemin menggeser lengannya ke arah kiri. Membuat Jeno menjadi target penembakannya.

"Gue bakalan bikin anak kita nanti ikutin tradisi orang tuanya."

Bunyi tembakan kembali terdengar setelah Jaemin mengakhiri ucapannya.

***

TBC

Guys, kalo kalian pusing baca dulu Penitencia yah. Kalo masih pusing, mending minum obat terus istirahat sambil streaming MV NCT.

Pada ikut PO cb WayV gak? Gila sih konsepnya bikin sesek nafas.

[✓] Acquisitive Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang