🔴Rival?

44.5K 4.5K 86
                                    

Happy reading❤

____________________

Bagian 27.

Bosan, satu kata yang mewakili aku saat berada di rumah. Memang ada Muzza di rumah, tapi dia hewan, susah diajak ngomong. Jadi aku memutuskan untuk pergi diam-diam sepulang kuliah ke Kafe Natares, hehe.

"Ini dianterin ke meja berapa, Mbak?" tanyaku mengangkat nampan berisi pesanan pelanggan.

"Kamu udah diem aja deh, nanti Pak Gharvi dateng malah marah lagi sama kita." Sudah berapa kali Mbak Nadine menyuruhku untuk diam.

Semua karyawan Kafe dan Restoran pun sudah tahu jika aku istrinya Mas Gharvi, karena sewaktu pernikahan ia mengundang semua karyawannya dari berbagai cabang. Walaupun yang datang tidak semua, namun pernikahan kami diberitahukan lewat grup chat oleh Mas Gharvi.

"Dia gak bakalan dateng, Mbak. Katanya lagi ke Restoran yang di Depok."

Mbak Nadine pun menghela napas kasar, terlihat pasrah. Walaupun aku istrinya pemilik kafe ini, tapi Mbak Nadine masih menganggapku sebagai teman cerita saat bekerja dulu.

Aku tersenyum sumringah kala Mbak Nadine memberi tahu nomor meja berapa, kakiku mulai melangkah menuju meja nomor delapan belas.

Ternyata di meja tersebut hanya ada anak kecil laki-laki sambil menelengkupkan wajahnya pada meja.

"Permisi adek manis," sapaku lalu meletakkan nampan di meja.

Dia mendongkak, matanya berair. Sepertinya anak itu menangis.

"Hei, kamu kenapa?" tanyaku khawatir berjongkok menyentuh kepalanya, tanganku mengusap rambut hitam anak kecil itu.

"Papa." Ia menangis lagi membuatku gelagapan.

"Papa kamu kemana, hmm?"

Anak kecil itu mengusap ingusnya yang terus keluar. Aku tertawa kecil membantu membersihkan hidungnya menggunakan tisu.

Ia menggeleng lemas,"Gak tahu, Kak."

Ini gimana, sih? Anak sekecil dan seimut ini kenapa malah ditinggal sama orang tuanya? kalau diculik baru tahu rasa, nangis di pojokan itu bapaknya.

"Kenapa gak tahu? Adek namanya siapa?" aku bertanya selembut mungkin agar anak ini tidak merasa terintimidasi.

"Gio." Ia menjawab singkat, Gio menunjukan empat jarinya yang mungil. "Gio umur segini, Kakak." Berarti anak ini berusia empat tahun. Lucu sekali, pipi, hidung dan bibirnya merah akibat menangis.

"Uluh-uluh anak manis ini," kataku spontan memeluknya. "Kakak temenin kamu, ya." Gio mengangguk.

Gio sepertinya tidak merasa risih saat aku memeluknya, aku jadi takut kalo anak ini ditinggalkan sendirian, terus bagaimana jika ada orang jahat yang menculiknya?

"Mau kakak suapin es krimnya?" Ia mengangguk, aku mulai menyuapkan es krim ke mulutnya.

Bibir Gio melengkung saat merasakan dingin dan manisnya es krim, aku tersenyum mencubit pelan pipinya.

"Memangnya Papa kamu kemana, Gio?" tanyaku penasaran, kasihan masih kecil udah ditinggal-tinggal sendirian

"Ndak tauk, papa bilang mau ke toilet sambil pesen makanan, tapi lom balik agi. Gio udah lama nunggu," kata Gio mengerucutkan bibirnya, argh gemes banget, pengen bawa pulang.

(In)credible Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang