vote comment nya jangan lupa hihi
Happy reading❤
____________________Bagian 15.
"Saya bakalan lakuin apa yang Bapak mau, tapi please izinin, ya?" aku merengek mulai memeluk lengannya.
Pak Gharvi menoleh kepadaku, dia menatapku lama sekali. Mata kami saling bertabrakan, ada yang aneh dengan tatapannya.
Dia tersenyum sangat tipis sekali, "Boleh," jawab Pak Gharvi lalu mengusap lehernya.
Mataku berbinar dengan bibir yang melengkung. Namun, perasaan ini sama sekali tidak enak. Takut Pak Gharvi minta hal yang iya-iya.
"Okey, diizinkan," ucap Pak Gharvi santai. "Tapi setelahnya kamu tidak saya beri uang jajan selama sebulan. Ke kampus saya antar jemput, begitu pun kalo kamu keluar," ujarnya dengan nada yang teramat kalem. Aku melongo mencoba mencerna ucapan dia.
Jadi, selama sebulan dia mengekoriku kemana pun pergi?
"Dan satu lagi, selama tidak diberi uang, kamu tidak boleh bekerja. Makan hanya di rumah, bagaimana?"
Aku bergidik ngeri membayangkannya, seketika pikiranku berkelana membayangkan bagaimana sebulan penuh berada di dekat manusia kaku itu. Jika aku bertemu dengan teman-teman, berarti dia ikut. Aku gak mau, dia itu julid dan juga menyebalkan.
"Apaan sih, kan gak gitu juga!" seruku sebal, untuk soal uang jajan itu sudah menjadi kewajiban dia sebagai seorang suami.
Cie suami.
"Bisa," dengan santainya pak Gharvi menjawab singkat, dia mengambil toples keripik singkong, lalu memakannya.
"Kan kalo untuk uang jajan itu udah kewajiban bapak buat nafkahin saya."
Pak Gharvi menoleh sekilas, "Memangnya kamu sudah memenuhi kewajiban sebagai istri?"
"Jelas sudah." Aku menatapnya sengit. "Saya selalu beres-beres rumah, masak, cuci baju bapak, cuci piring, nyetrika, dan segala kebutuhan rumah saya yang urus!"
"Oh, ya? Untuk urusan rumah seperti beres-beres itu kewajiban berdua, bukan hanya istri saja."
Aku mengangguk pelan, iya juga. Selama ini Pak Gharvi juga selalu membantu pekerjaan rumah. Seperti mencuci piring, menyapu, mengepel, menjemur pakaian dan hal lainnya.
"Bukannya ada kewajiban yang lain?" tanya dia lagi yang sudah seperti Dora Explorer, si kartun tukang nanya.
Aku diam sejenak, rasanya memang ada yang mengganjal. Tapi apa, ya?
Dan tak lama aku menemukan jawabannya.
Astaghfirullah, aku malu.
"Mmm, kewajiban itu, ya?" Pak Gharvi mengangguk.
"Tidak perlu diperjelas."
Aku menyengir saja, benar-benar memalukan. Buang dedek ke rawa-rawa, Mas.
"Engh ... maaf, Pak."
Suasana mendadak menjadi canggung, Pak Gharvi kembali fokus menonton TV, sesekali dia memasukan keripik singkong ke mulutnya. Walaupun modelan kaku, dosen juga suka mengemil.
***
Aku menatap foto pernikahan yang terpajang di kamar kami, foto itu diletakkan tepat di atas kepala ranjang yang berada di tengah-tengah. Foto pernikahan yang sangat besar, sehingga saat masuk kamar, pasti mata tertuju atau salfok pada foto itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
(In)credible Marriage
RomanceGenre: Romance Comedy. Prinsipku itu menikah sekali dalam seumur hidup, tapi bagaimana dengan pernikahanku yang terjadi karena kesalahpahaman? Di sini aku dinikahi oleh Dosenku sendiri yang sifatnya super kaku dan juga menyebalkan. Entah terjebak...