🔴Sulit Dimengerti

46.4K 4.7K 146
                                    

Komen yang banyak biar aku double up

Happy reading❤
____________________

Bagian 32.

Bagaimana caraku untuk mengakhiri semua ini? Tolong, aku benar-benar bingung dan juga tak mengerti dengan keadaan kami.

Sejak pertengkaran kemarin malam, kami tak bertegur sapa hingga aku pulang kuliah.

"Maafkan saya." Aku menoleh saat suara pelan itu mengusik pendengaranku.

Tak berniat menjawab, mataku fokus menonton televisi.

"Soal kemarin, saya bentak kamu." Mas Gharvi menyentuh tanganku, aku menghindar dari sentuhannya. Biar dia mikir sekalian.

"Tidak perlu."

"Rengganis, saya—"

Aku menoleh ke arahnya yang tengah menunduk. "Cukup, saya sedang tidak ingin ribut."

"Saya suami kamu, kalau kamu lupa." Kembali kuabaikan, Mas Gharvi bersandar di punggung sofa, seperti sudah pasrah menghadapiku.

Terdengar hembusan napas kasar dari samping, "Kamu tidak masak?"

"Ngapain masak? Sayang kebuang terus ga ada yang makan."

"Ya sudah, kamu istirahat saja," ucapnya yang membuatku meneguk ludah.

"Biar saya yang masak, kamu mau makan apa?"

Sontak aku memutar bola mata malas. Kenapa sejak tadi dia sok perhatian?!

Aku tahu sebenarnya Mas Gharvi yang lelah di sini, dia tadi bolak-balik mengajar, pergi menghadiri seminar sebentar, setelah itu pergi ke Restorannya. Bahkan saat pulang ia berusaha mengajakku berbicara, namun tak aku gubris. Dia memutuskan bekerja dengan laptopnya, dan kembali menghampiriku sekarang ini.

"Biar saya aja yang masak." Karena tak tega dan masih sadar diri, aku beranjak ke dapur untuk memasak.

"Tidak perlu, atau kita pesan saja," usul Mas Gharvi mengekoriku kesana-kemari.

"Bacot!" umpatku pelan yang ternyata dapat didengar olehnya.

"Astaghfirullah, mulutnya! Jangan ngucapin hal kayak gitu, gak baik."

Karena aku diam tak menanggapinya, ia diam juga, lalu duduk di meja makan dengan antengnya. Padahal bisa saja ia melihat ponsel sembari menungguku selesai memasak, namun ia malah duduk dengan tangan menopang dagu memperhatikanku.

Kurang lebih lima belas menit masakanku telah siap, aku menyodorkan cumi saus tiram yang menggugah selera.

Aku mengernyitkan dahi heran, pasalnya dia hanya diam sambil menatap hasil masakanku.

"Katanya lapar," sindirku sambil menyendokan nasi ke piringku, aku pun ikut lapar.

"Biasanya kamu nyiapin saya nasi." Apa-apaan, sih? Kami itu lagi bertengkar lho, tapi dia bertingkah seolah kami itu tidak ada masalah apapun.

"Udah gede gak usah manja!" seruku mengangkat piring yang sudah terisi nasi dan lauknya, kakiku melangkah pergi ke ruang keluarga.

"Kemana?" tanya Mas Gharvi saat aku hampir hilang dari pandangannya.

Enak nih makan sambil nge-drakor.

Aku duduk lesehan di depan televisi dengan tayangan drakor yang sudah terhubung. Bodo amat dengan Mas Gharvi yang makan sendirian di sana.

(In)credible Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang