🔴Sebuah Fakta

76.5K 6.4K 216
                                    

Ayo nabunggggg buat peluk buku ini😍

Happy reading❤
___________

Bagian 02.

Setelah selesai kelas Bu Intan, aku pergi ke Masjid kampus untuk menunaikan salat Ashar. Setelah itu menemui Pak Gharvi di ruangannya.

Langkahku berhenti kala sudah di depan pintu ruangan Pak Gharvi. Rasanya gugup dan juga takut karena ini pertama kalinya dipanggil. Apalagi Pak Gharvi itu termasuk dosen yang tegas dan juga killer.

Pintu tersebut ku ketuk, namun tak ada jawaban. Aku berbalik badan, percuma tidak ada sahutan dari dalam. Dari pada buka pintu sendiri, nanti disangka gak tahu sopan santun.

Badanku berbalik arah, namun saat langkah kedua aku mendengar suara pintu ruangan itu terbuka menampilkan sosok Pak Gharvi yang terlihat-menggoda? Astaghfirullah, mikir apa sih kamu, Rengganis?

Penampilan Pak Gharvi terlihat berbeda ketika tadi pagi ketemu. Pak Gharvi tidak memakai jasnya seperti biasa, namun ia hanya memakai kemeja biru dengan lengan panjang yang digulung sampai siku. Ditambah dasinya yang dilonggarkan, serta dua kancing yang terbuka. Bila bajunya dikeluarkan, sudahlah pasti aku ambyar. Untung saja bajunya dimasukkan ke dalam celana.

"Rengganis? Kenapa kamu menatap saya seperti itu?" Tanya Pak Gharvi, tak lupa sebelum menanyakan itu ia pasti berdehem. Mungkin cek suara kali.

Aku geleng-geleng kepala berusaha mengenyahkan pikiran itu. "Hah? Maaf, Pak. Ada perlu apa Bapak meminta saya kemari?"

Pak Gharvi mempersilahkan aku masuk, lalu diikuti olehnya, setelah itu menutup pintu ruangan.

Aku dan Pak Gharvi sudah duduk berhadap-hadapan yang dihalangi oleh meja.

"Baca," katanya sembari menyodorkan selembar kertas.

Aku mengambil alih kertas itu. Sontak mataku melotot setelah membaca surat ini. Surat berisi tentang data aku sekolah dan kuliah, serta tetek bengeknya.

Bagaimana bisa?

Lalu Pak Gharvi menyodorkan ponselnya kepadaku, aku membaca pesan dari seseorang. Ternyata itu pesan empat bulan yang lalu.

"Pak, jangan becanda?" tanyaku dengan mata yang mulai memerah.

"Kalo kamu tidak mau, ya sudah," balas Pak Gharvi mengalihkan pandangan. Ia lebih memilih memperhatikan langit-langit ruangan.

Aku terdiam, bagaimana pun aku berhutang budi pada Pak Gharvi dan kedua orang tuanya.

"Boleh saya pikir-pikir dulu?" Pak Gharvi menggeleng membuat aku menunduk lesu.

"Saya setuju tinggal di rumah Bapak," ucapku dengan suara lirih tanpa menatap pak Gharvi.

Aku harus membalas budi kepada mereka, kan? Ternyata selama ini Pak Gharvi dan kedua orang tuanya yang membiayai sekolah serta kuliahku.

Hal yang membuatku kaget adalah ternyata sekolah dan kuliahku bukan bantuan dari beasiswa. Melainkan dari bantuan Pak Gharvi dan kedua orang tuanya.

Flashback on.

Dulu waktu aku baru saja berumur lima belas tahun, tepatnya baru saja tiga bulan yang lalu lulus SMP. Aku pernah membantu Pak Rian dan Bu Gita, orang tua dari Pak Gharvi. Pak Rian dan Bu Gita mengalami kecelakaan maut, mobil beliau hampir saja terbakar karena tertabrak kereta api hingga terseret lumayan jauh. Saat itu aku melihat mobil terseret hingga terpentok di sebuah pohon besar, dekat kebun yang sepi. Aku melangkah menuju mobil tersebut yang mendapati Pak Rian dan Bu Gita, buru-buru aku membuka pintu walau agak sulit, mobil sudah mengeluarkan kepulan asap.

(In)credible Marriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang