Vote dulu atuh hehe
Follow juga
Happy reading❤
__________________Bagian 22.
Perasaan was-was menyelimutiku saat berjalan mengendap masuk ke dalam rumah. Semoga saja Pak Gharvi pergi ke restoran atau kafe untuk meninjau seperti biasanya.
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruang utama. Gelap, ternyata dia belum pulang, aku tersenyum lega sambil mengelus dada, lalu mencari saklar lampu.
"Khem."
Deg!
Kaki yang tengah melangkah tiba-tiba berhenti. Jantungku berpacu menjadi lebih cepat, aku tak asing dengan suara deheman ini.
Kepalaku memutar pada sumber suara, Pak Gharvi sedang bersidekap dada seraya duduk di sofa, wajahnya diangkat memperlihatkan sisi keangkuhannya. Aku menyengir polos mendekat padanya untuk mencium punggung tangannya.
"Udah pulang, Pak?" tanyaku basa-basi setelah mencium punggung tangannya.
"Udah salat isya? tanya Pak Gharvi mengabaikan pertanyaanku.
Aku merasakan aura-aura yang berbeda. Biasanya jika aku pulang telat dan dia sudah pulang terlebih dahulu, ia pasti bertanya kenapa aku pulang telat dan tidak mengabarinya. Namun, kali ini Pak Gharvi tidak bertanya.
Aku menggeleng. "Kan, lagi dapet," jawabku kikuk membuat dia terdiam.
Aku menggaruk kepalaku yang tak terasa gatal. "Bapak udah makan?" tanyaku penuh perhatian, bukannya terakhir dia makan itu tadi siang, itu pun tidak habis.
"Bagaimana saya bisa makan jika istri saya tidak ada kabar sejak tadi siang di kantin?"
"Bagaimana saya bisa makan dengan tenang kalo istri saya sedang bersama laki-laki lain? Bahkan laki-laki itu lebih dekat dengan istri saya dibandingkan dengan saya suaminya."
Aku menunduk merasa bersalah.
"Maaf, Pak-"
"Saya tak butuh permintaan maaf kamu. Percuma, nanti juga diulangi lagi." Pak Gharvi memotong ucapanku. Dia benar-benar marah.
"K-kalo gitu saya masak."
"Tidak perlu," potong Pak Gharvi cepat.
Aku berjalan cepat ke arah dapur, lalu menyimpan tasku di pantry. Membuka kulkas dan membawa beberapa bahan, seperti telur dan sawi serta daun bawang.
Bahan-bahan dapur habis, aku sampai lupa belanja, tidak ada yang lain lagi. Sebenarnya ada mie instan, namun Pak Gharvi belum makan nasi banyak.
Setelah mengiris sawi dan daun bawang, aku menumisnya lalu mengocok telur. Tak lupa memberi penyedap rasa. Setelah itu memasukan telur yang telah dikocok ke dalam wajan.
Tiba-tiba aku merasakan ada sentuhan di bagian rambutku. "Iketan rambutnya kendor, gerah." Pak Gharvi melepaskan ikatan rambutku, ia mengumpulkannya menjadi satu, dan diikat ulang secara asal.
Jantungku bertalu dengan kencangnya, aroma parfum dosen itu tercium sangat kuat. Sudah beberapa kali jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya saat dekat dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(In)credible Marriage
RomanceGenre: Romance Comedy. Prinsipku itu menikah sekali dalam seumur hidup, tapi bagaimana dengan pernikahanku yang terjadi karena kesalahpahaman? Di sini aku dinikahi oleh Dosenku sendiri yang sifatnya super kaku dan juga menyebalkan. Entah terjebak...