PART 18

55 5 0
                                    

Mendengar isak tangis, Gaksa mengangkat kepalanya. Di depannya, Zivara sudah berurai air mata.

"Zivara capek kak Gaksa. Capek di bully, capek di teror, capek..." Zivara urung melanjutkan kalimatnya, ia tak tahan lagi menanggung beban yang terus menumpuk setiap harinya. Air matanya yang mengucur kian deras menggambarkan betapa hancurnya dia. Muak, ia lelah dengan jalan hidup yang terus menyiksa batin dan psikisnya.

"Zivara pengen hidup layaknya orang normal. Mungkin tanpa adanya kak Gaksa, Nada, kak Ogi dan kak Dodo, Zivara udah milih jalan pintas," tutur Zivara menyuarakan unek-uneknya dengan suara tercekat. Ia memukul dadanya, merasakan sakit seolah tertusuk ribuan belati.

"Stop!" Cegat Gaksa, menahan kedua kepalan tangan Zivara. "Jalan pintas apa yang Lo maksud?" Ekspresi sendu tak bisa Gaksa sembunyikan.

"Apa lagi kalau bukan bunuh diri!"

Gaksa tertegun. Tidak menyangka Zivara sudah berpikir sejauh itu. Ia ikut merasakan betapa menyakitkannya berada di posisi Zivara.

Perlahan ia menarik Zivara ke dalam pelukannya. Untuk kali ini, ia membiarkan ego menguasai dirinya. Sejenak, Gaksa tak ingin terikat pada ayah maupun sahabatnya.

Tersenyum, Gaksa mencoba menenangkan. "Lo kenapa nangis? Apa karena gue nolak Lo? Emang gue udah ngasih jawaban, enggak 'kan?"

Zivara mendonggak, menatap pemuda yang tengah memeluk serta mengelus punggungnya. Ia bergeming, menunggu kalimat berikutnya.

"Tanpa pacaran, gue bakal tetep ngelindungin Lo. Jadi Lo nggak usah khawatir."

"Kak Gaksa nolak Zivara?" Tangis Zivara semakin kejer.

"Maaf..."

Mendengar itu, Zivara menarik dirinya dari rengkuhan Gaksa, namun gagal karena pemuda itu mengunci pelukannya.

Senyum teduh Gaksa berubah menjadi senyum getir. "Kayaknya udah nggak ada pilihan lain. Maaf pa, Aq."

"Maaf, gue nggak bisa nolak. Itu yang pengen gue utarain." Ia terkekeh di akhir kalimat, sengaja menyembunyikan kepedihannya.

"Jadi sekarang, kak Gaksa udah jadi pacarnya Zivara?" Zivara merekah di balik pelukan Gaksa, meskipun air matanya masih berjatuhan.

"Hm. Sekarang gue bukan babu lagi, tapi pacarnya Zivara Aghnaf Gifananta," tegas Gaksa dengan bangganya.

Senyum Zivara makin lebar. Ia membalas pelukan Gaksa tak kalah erat. "Semoga dengan jadi pacarnya kak Gaksa, nggak ada lagi yang berani gangguin Zivara."

Gaksa mendengus. "Ngomong apa sih?"

Zivara melepaskan pelukannya, lalu menatap Gaksa, lekat. Dengan kepolosannya, ia menjelaskan. "Kata Nada, kalau Zivara jadi pacarnya kak Gaksa nanti nggak akan ada lagi yang berani gangguin Zivara."

"Nada bilang gitu?" Dahi Gaksa mengerut.

"Hm," Zivara memandang gamang pada ubin lantai. "Tapi apa pun itu, yang penting kak Gaksa udah bukan babunya Zivara lagi. Kak Gaksa udah jadi pacarnya Zivara. Yey!" Serunya yang kembali memeluk Gaksa.

Perlahan, Gaksa mengelus surai Zivara. "Masih deg-degan nggak?"

Menarik tangannya yang bebas dari infus, Zivara memeriksa detak jantungnya. "Iya, tapi nggak pa-pa. Kata bunda, ini nggak akan bikin Zivara mati."

"Selama Zivara nyaman," lanjutnya menenggelamkan wajah di dada bidang Gaksa.

"Berarti Lo nyaman?"

Zivara mengangguk, membuat Gaksa tergelak geli merasakan pergerakan di dadanya.

( ◜‿◝ )

WINSOME (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang