PART 3

270 14 9
                                    

"Aaaaa..."

Teriakan itu menghentikan Nada yang hendak menempati bangkunya. Ia berbalik, matanya melebar mendapati Zivara yang terduduk di lantai. Begitupun beberapa murid yang ikut menyaksikan.

"Zivara, Var. Lo kenapa?" Nada mengguncang tubuh sahabatnya.

Tak ada respon sama sekali. Zivara membekap wajahnya seraya terus menangis.

"Var..." Nada kian cemas. Ia berusaha membantu Zivara untuk bangkit.

"Ada apa ini?" Tanya Januar yang kebetulan lewat, dan masuk karena mendengar teriakan.

"Zivara..." Netranya terpusat pada gadis berkuncir dua. Ia berlari cepat, ikut mendudukkan diri dihadapan Zivara.

"Zivara kenapa?" Ketua osis itu mengajukan tanya pada Nada.

"Nggak-"

"Januar," salah seorang anggota osis menyembulkan kepala di pintu. "Lo ditungguin sama anak-anak. Bentar lagi rapatnya di mulai."

Januar kalut, ia tak bisa berbuat banyak. Tak bisa menolong Zivara, pun tak bisa meninggalkan rapat. Sebagai ketua osis, ia wajib ikut serta dalam setiap acara rapat. Terlebih rapat kali ini sengaja diadakan pagi hari sebelum dimulainya jam pelajaran pertama.

"Ziavara ayo." Ia hendak membopong tubuh adik kelasnya itu.

"Jan, buru." Temannya kembali berujar.

Menghela napas kasar, Januar bangkit. Sementara Zivara masih tergeletak di lantai. "Gue bakal panggil beberapa orang ke sini buat anter Zivara ke UKS. Mungkin dia butuh waktu untuk jelasin apa yang terjadi sama dia."

Nada mengangguk paham.

"Kalian semua, kenapa diam aja, hah? bantu Zivara!"

Selepas itu, Januar melengos. Langkahnya sedikit melambat saat berpapasan dengan Gaksa di ambang pintu. Keduanya beradu pandang beberapa detik. Gaksa lebih dulu memutus kontak dan melenggang cepat menuju Zivara.

"Apa-apaan ini?" Gaksa meremas secarik kertas yang ia temui di meja Zivara. Sebuah tulisan berupa teror terpampang jelas di kertas itu. Belum lagi bangkai tikus yang tergeletak dan mengeluarkan bau menyengat.

"Siapa yang ngelakuin ini?" Irisnya beredar, menatap sengit ke segala sudut.

Hening, tak ada yang berani bersuara.

"Minggir-minggir." Ia menerobos, melewati kerumunan yang berniat membantu Zivara.

"Pindah lo semua, atau gue tendang?" Gaksa bangkit dengan tubuh Zivara yang berada dalam gendongannya.

Pemuda itu melesat ke UKS. Zivara yang tubuhnya melayang, hanya diam membisu. Tangannya ia kalungkan di leher Gaksa, sementara wajahnya tenggelam di dada bidang sang senior, masih dengan isak tangis.

Keduanya menyita perhatian sepanjang jalan. Namun Gaksa bersikap abai dan terus memperhatikan lintas di depannya.

Gaksa membaringkan tubuh Zivara di brankar UKS. Tak ingin meninggalkan gadis polos itu sendiri, ia memilih duduk di kursi dekat brankar.

Zivara masih enggan bersuara. Sepertinya surat peneroran itu berdampak besar baginya, nampak jelas dari wajahnya yang sendu. Gadis mungil itu menatap langit ruangan yang bernuansa putih dalam diam.

Dear Zivara,

Apa Lo masih ngarepin Zain? Lo nggak capek berharap sama orang yang udah mati. Saran gue, mending Lo lupain dia. Coba lihat bangkai itu, apa dia bakal jadi tikus lagi? Enggak 'kan?

WINSOME (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang