PART 12

32 7 1
                                    

"Papa ngusir gue,"

"Seriusan, demi apa lo ?!" Aqsa berbalik, menghadap Gaksa yang tengah bergundah gulana di sofa.

"Zivara."

Mendapat jawaban, ia berdecak. "Oh c'mon lah, Rey. Udah deh, nggak usah galau-galauan. Kesel gue ngeliat muka kusut lo. Udah kayak cewek yang lagi PMS, tau nggak?"

Pemuda yang satunya menatap datar. "Gue mau berhenti." Ia menunduk, meremas pelan rambut lebatnya. "Udah cukup gue boongin bokap. Rasanya, gue nggak ada bedanya sama nyokap. Sama-sama pengkhianat."

Bertolak pinggang, Aqsa memutar bola mata jengah hingga terhenti di satu titik. Ia memusat pada Gaksa. "Nggak bisa gitu dong. Lo kalah taruhan dan ini udah jadi kesepakatan kita."

"Kesepakatan kita?" Gaksa menelengkan kepala, dilanjut dengan menggeleng disertai senyum mengejek. "Perasaan, ini hanya kesepatakan lo doang. Lo yang ambil keputusan tanpa peduli persetujuan gue. Dan gue, gue bisa apa?"

Aqsa tersenyum getir, merasa tersindir. "Ayolah, bro. Sejak kapan turunan Muzadi jadi pengecut?" Langkahnya hilir mudik di hadapan pemuda yang sedang menyimak ucapannya. "Gue kenal lo dari SD, dan nggak ada kata menyerah dalam prinsip lo. Tapi sekarang, apa? Lo takluk sama cewek kayak Zivara?"

"Bukan takluk," sangkal Gaksa tak terima. "Cuma ini tuh beda. Gue sama aja ceburin diri ke jurang. Ngerti nggak, sih? Papa udah mulai curiga."

Alis Aqsa menukik sebelah. "Ya... itu salah lo. Gue 'kan udah bilang, 'cukup lindungin Zivara dan bikin dia jadi milik gue'. Lo udah janji loh, ya. Jadi jangan ingkar."

Langkah Aqsa terhenti. Ia tersentak saat menyadari sesuatu. Lantas, matanya memicing curiga pada Gaksa. "Atau jangan-jangan... lo ada feeling sama dia?"

Gaksa terkesiap. Pipinya memerah disertai hawa panas yang menyergapnya seketika. "Duh, panas nih," katanya dengan sorot beredar. Tangannya pun mengibas kaos yang sedang ia kenakan.

"Hahahaha," sambungnya tertawa sumbang. "Ya, nggak lah. Zivara? Dia bukan tipe gue. Nggak, nggak, gue nggak suka cewek cengeng."

Melihat ekspresi Aqsa yang belum juga berubah, Gaksa semakin kalang kabut dengan mengibas kuat bajunya.

Kerutan diwajah Aqsa memudar, kecurigaannya sirna entah kemana.  "Oh, bagus deh," finalnya.

Ia mendudukkan diri di samping Gaksa. "Jangan sampe Zivara ada rasa sama lo. Ingat ya, Zivara milik gue. Dan lo, lo cuma perantara."

Gaksa mengangguk pasrah, meski hatinya menolak telak.

Merasakan keheningan di sampingnya, tangan Aqsa bergerak, menjangkau pundak Gaksa dan menarik pemuda itu hingga menempel padanya. "Dan masalah lo sama bokap. Tenang aja, nanti gue bantu jelasin."

"Ok deh," tandas Gaksa mengangguk. Tak lupa keduanya bertos ria.

Sejenak, mereka terdiam. Hingga Aqsa kembali membuka sesi percakapan.

"Ngomong-ngomong, coklat pasta yang gue titip buat Zivara udah lo kasih belum?"

"Udah," jawab Gaksa patah semangat yang tak disadari lawan bicaranya.

"Bagus, soalnya itu tuh bukan sembarang cokelat."

Sekelebat Gaksa menegakkan badan. Ia menoleh cepat. "Trus apa kalau bukan cokelat?"

Aqsa balik meliriknya. "Bukan apa-apa. Cuma obat supaya ingatan Zivara kembali," jelasnya santai.

Lain halnya dengan Gaksa yang kini tampil tercengang. Mata pemuda itu sukses membola. "Maksud lo?" Spontan suaranya meninggi murka.

WINSOME (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang