Gaksa mengembuskan napas pelan. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi rotan yang tersedia di beranda kamar. Tangannya terulur, menjangkau gawainya yang teronggok di meja.
Senyum getir terbit di bibirnya, mendapati foto dirinya dengan Zivara kala mengunjungi pantai. Teringat masih ada sisa kenangan Zivara, Gaksa berniat menghapus semua hal yang menyangkut gadis itu.
Baginya, akan sia-sia jika mempertahankan perasaan yang kelak tak lagi terbalas. Zivara akan kembali, namun dengan ingatan yang berbeda.
"Var, enak ya, ninggalin gue dengan status kita yang masih pacaran." Sejenak, Gaksa mendonggak, ia terkekeh miris.
Selang beberapa saat, semua hal yang bersangkutan dengan Zivara, lenyap. Ia lantas melempar pelan ponselnya ke meja, lalu meletakkan tangan di belakang leher guna menyanggah kepala. "Bye, Zivara Aghnaf Gifananta. Sampai jumpa sebagai orang asing."
Gaksa lekas bangkit saat mengingat wacananya dengan Ogi dan Dodo.
Tak banyak persiapan. Gaksa hanya melapisi kaosnya dengan jaket denim, mengganti celananya dengan jeans. Dan terakhir, membalut kakinya menggunakan sneaker putih andalannya.
Setelahnya, ia melanjutkan langkah menuju lantai dasar.
"Gifananta, dari namanya saja aku tau kalau pacar Gaksa itu anak dari pesaing bisnisku. Bahkan, beberapa kali dia mencoba untuk menjatuhkan nama baik perusahaan yang aku pimpin," jelas Grezal.
"Jangan bilang, kamu tidak merestui mereka?" tanya Aila di seberang meja, belum menyadari kehadiran Gaksa.
"Begitulah. Mereka tidak bisa bersama." Grezal meneguk kopi buatan Aila. "Zivara lebih rumit daripada Monic."
"Monic? Dia sahabat Gaksa waktu masih kecil." Aila tersenyum mengingat sosok Monic, yang tak lain adalah teman bermain Gaksa semasa balita.
"Iya, dia sudah-"
Enggan mendengar lebih jauh lagi, Gaksa memutuskan pergi sebelum kedua orang tuanya menyadari keberadaannya.
Memasuki garasi, Gaksa dikejutkan dengan kehadiran Ganis. "Lo?!"
Ganis menyergap polos seraya mengemut es-krim kepunyaannya. "Ganis ikut," pintanya kemudian.
Gaksa berdeham canggung, mulai membiasakan diri menyandang status sebagai kakak. "E- enggak boleh!" tolaknya.
"Ganis mau ikut. Di rumah Ganis nggak punya temen." Sepintas, Ganis menyeka lelehan krim di sudut bibirnya. "Dulu ya, Bang Gandi kalau pergi pasti ngajakin Ganis."
"Gue bukan Gandi."
"Pokoknya Ganis mau ikut! Bang Gaksa ini 'kan kakaknya Ganis."
Gaksa apatis, memilih berbalik dan menunggangi motornya.
Melihat itu, Ganis tertunduk lesu, bersiap memasuki rumah, namun urung karena teriakan Gaksa. "Mau ke mana?"
"Masuk rumah."
"Nggak jadi ikut?"
Mata Ganis berbinar, tanpa sadar ia menjatuhkan stik es-krimnya. "Ikut!" serunya berlari menghampiri Gaksa.
"Hati-hati naiknya," peringat Gaksa, mengawasi pergerakan Ganis dari kaca spion.
"Udah."
"Ok, sekarang pegangan."
Tangan Ganis mengambang, ia ragu membungkukkan badannya. "Ganis malu, nanti bokongnya nungging."
"Nggak pa-pa. Itu pake celana panjang. Biar nggak nungging, jangan pegangan di pinggang, tapi di sini." Gaksa menaruh kedua tangan Ganis di pundaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
WINSOME (END)
Roman d'amour{FOLLOW SEBELUM BACA} JUDUL SEBELUMNYA 'FLAWLESS' Dengan karakter yang berbeda dan sangat bertolak belakang mereka mampu melewati banyak rintangan. Menjadikan mereka sempurna dengan ciri khasnya tersendiri. Siapakah mereka? #8-romansasma (27/10/2020...