PART 8

57 8 0
                                    

Tiga belas tahun silam...

Sebuah rumah megah di kelilingi atmosfir tak nyaman. Salah seorang diantaranya duduk tenang di sofa. Meski sebenarnya batinnya tengah berkecamuk.

Irisnya menyasar pada wanita yang sedang menangkan bocah berusia lima tahun. "Gaksa nggak boleh cengeng, Gaksa 'kan cowok. Gaksa harus dengerin dan turutin kata papa. Ok?"

"Nggak, Gaksa nggak mau nurut kalau mama pergi." Bantah si kecil. Ia terus bergelayut di kaki sang mama dengan mata berair. "Gaksa mau dimasakin mama tiap hari, dijemput mama kalau papa sibuk, trus dibacain dogeng sebelum tidur. Gaksa nggak mau ditinggal mama."

Aila tak kuasa membendung tangis. Ia berjongkok, memegang pundak putranya dengan tatapan pilu. ingin rasanya berujar, namun dadanya terasa sesak. Kepalanya menunduk, tak kuasa melihat wajah sendu anaknya terlalu lama. Meluruskan pandang, Aila menghindari kontak mata dengan putranya."Gaksa, mama juga nggak mau ninggalin Gaksa. Mama pengen ada di samping Gaksa, selalu Nak. Tap- tapi." Ia menggeleng sesenggukan.

"Gaksa nakal ya, ma? Makanya mama mau ninggalin Gaksa. Gaksa janji deh, nggak akan nakal lagi. Gaksa janji bakal jadi anak yang baik, tapi mama jangan ninggalin Gaksa." Tangan mungil Gaksa mengalung di leher ibunya. Wajahnya pun ia tenggelamkan di ceruk leher sang bidadari dunia kepunyaannya.

Sementara Aila kian terpukul mendengar penuturan putranya. "Gak- Gaksa. Ma- mama, sayang nak sama Gaksa. Gaksa nggak nakal, Gaksa baik. Tap-" ia mendonggak, menyeka buliran  bening yang menggenang.

Grezal, sang kepala keluarga bangkit. Ayunan langkah membawanya menghampiri istri dan putranya. Tangannya berusaha melepas paksa pelukan ibu dan anak itu.

"Gaksa lepas, biarkan mama mu pergi." Ia menggertak, membuat Aila dan Gaksa sedikit terlonjak.

"Nggak mau..." jerit Gaksa mendayu. Bocah itu semakin mempererat pelukan di leher ibunya.

"Aila jangan memanjakannya, dia akan semakin sulit melepasmu." Grezal berucap tegas.

"Jangan memisahkan kami, bi-"

"Kau yang mempersulit segalanya Aila. Tidak bisakah kau bertahan dan tetap tinggal bersama anak juga su-." Grezal menggantung kalimatnya. Ia gengsi mengakui jika dirinya juga membutuhkan Aila.

"Pergilah, aku ikhlas melepasmu. Aku tau kau lebih menyayangi ayahmu daripada darah dagingmu sendiri," sindirnya mengalihkan pandang.

"Biarkan aku membawa Gaksa. Dia darah dagingku dan kau tau itu. Tapi aku juga darah daging ayahku,"

Mendengar hal itu, Grezal menyorot bengis ke arah Aila."Tidak. Gaksa akan tetap bersamaku, dia penerusku. Kalau kau ingin pergi, maka pergilah. SENDIRI."

Aila balas menatap dalam wajah suaminya. "Aku sangat menyayangi kalian, sungguh. Tapi ayahku tak merestui pernikahan kita, dia bahkan tidak menerima Gaksa. Bagaimanapun juga mereka orang tuaku. Sudah cukup aku mendurhakai mereka dengan memilih kawin lari."

Grezal mendelik sengit. "Jadi maksudnya, kau lebih baik mendurhakai anak juga suamimu, begitu? Aku tak masalah jika kau durhakai, tapi bagaimana dengan anakmu?"

Ia mengelus surai lembut putranya. "Apa salah anak ini? Kau mengandungnya, melahirkannya, menyusuinya, tapi kau belum sepenuhnya membesarkan dia, Aila."

"Untuk itu, izin'kan aku membawa Gaksa," sambar Aila.

"Aku bilang tidak, ya tidak." Suara Grezal meninggi. Menghela napas, ia menetralkan amarah. "Jika kau pergi, maka kau akan kembali pada ayahmu dan menikah dengan laki-laki pilihannya. Lalu bagaimana denganku jika Gaksa tak ada?" Mata Grezal memerah disertai buliran yang menggenangi pelupuk.

WINSOME (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang