PART 27

33 5 0
                                    

"Saya rasa penyampaian hari ini cukup." Lelaki baya berpakaian dinas itu, menoleh ke arah Gaksa. "Mungkin masih ada tambahan dari teman kalian."

"Silakan Gaksa," lanjutnya, berjalan menuruni podium.

Di barisan terdepan, Gaksa terlihat menggangguk. Sejurus kemudian, ia melangkah keluar dari barisan, terus berjalan hingga berakhir di depan Monic.

"Eh, mau ngapain?" tanya Monic saat Gaksa membawanya menuju panggung.

Gaksa balas berbisik, "umumin hubungan kita."

Mendengar itu, Monic seketika dibuat tersipu.

Berdiri menjulang di podium, Gaksa melepas genggamannya pada Monic dan beralih mencengkram pengeras suara. Sesaat, tatapannya beredar, sebelum akhirnya ia berdeham singkat. "Langsung saja. Sebagai anak dari pemilik sekolah ini, saya tentu memiliki wewenang untuk menindak pelaku yang menyebabkan ketidaknyamanan peserta didik di sini."

Monic menoleh samping, menatap Gaksa dengan tanya.

"Seperti yang kalian ketahui, beberapa hari lalu sekolah kita sempat gempar dengan kejadian yang melibatkan dua pelajar di sekolah ini. Kedua pelajar itu, sudah tidak terlihat lagi setelah tragedi itu. Bukan tanpa alasan. Mereka malu, difitnah, dikecam, digunjing habis-habisan."

"Dan hari ini, di depan kalian semua. Seperti janji saya, saya akan mengusut pelaku sebenarnya." Gaksa menarik Monic agar merapat padanya.Tangannya dengan cekatan menarik sebuah benda di balik telinga gadis itu.

"Auw," pekik Monic, merasakan perih saat benda kecil terlepas dari kupingnya.

"Alat penyadap ini adalah buktinya." Tangan Gaksa mengudara, menunjukkan benda kecil yang ia ambil.

Para murid dibuat tercengang. Beberapa di antaranya membentuk kubu dan berbisik.

"Monic Hanum Astria beserta kedua rekannya adalah dalang di balik semua tuduhan yang ditujukan pada Zivara dan Januar."

"Gaksa!" Monic terkesiap. Keterkejutan tergambar jelas di wajahnya. Ia membuang pandang ke arah barisan, menyorot sahabatnya yang juga berubah pias.

"Enggak, ini nggak seperti yang kalian pikirin," katanya membela diri, nyaris menangis melihat seantero barisan menatapnya sengit sambil berbisik-bisik.

"Gaksa, lo cuma becanda kan? Sumpah ini nggak lucu. Gaksa!" Monic merengek, menarik-narik lengan Gaksa yang enggan menanggapinya.

"Dan seperti yang sudah ditentukan. Pelaku dari masalah yang selama ini meresahkan warga sekolah, harus angkat kaki," tutur Gaksa tanpa mengindahkan Monic yang kini menangis kejer. "Sekian, terima kasih."

"Gaksa." Monic berlari turun dari podium untuk mengejar Gaksa. "Gaksa gue mohon jangan lakuin ini ke gue. Gaksa!"

"Seenggaknya peduliin gue sebagai sahabat kecil lo. Gaksa!" Monic jatuh terduduk di tengah lapangan, menjadikan dirinya sebagai bahan tontonan. "Gaksa, gue butuh belas kasih lo."

"Gaksa ...," lirih Monic sebelum akhirnya hilang kesadaran.

(◠‿◕)

"Jadi?" Alis Dodo menukik sebelah.

"Itu alat penyadap yang gue tempelin sesuai perintah Kak Gaksa." Nada menyahut, mendaratkan bokongnya di sebelah Ogi.

"Berarti, selama ini kalian ngerencanain sesuatu? Tanpa sepengetahuan kita?" selidik Ogi.

"Yap." Nada mengangguk. "Sebenarnya, gue pernah denger obrolan Monic sama temennya waktu di toilet. Mereka ngebahas soal penyekapan Zivara tempo hari. Yang di gudang itu."

WINSOME (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang