PART 10

53 9 0
                                    

Sibuk pada kegiatannya masing-masing, tak membuat Gaksa maupun Grezal melupakan waktu berharganya.

Di akhir pekan ini, ayah dan anak itu sedang menghabiskan waktu bersama. Sesekali keduanya saling melempar canda ria di sela percakapannya. Kehangatan nyata adanya di ruang keluarga yang sedang mereka tempati.

Memulai topik baru, Gaksa membahas kejadian beberapa hari belakangan. "Pa, belum lama ini Gaksa menangkap segerombol siswa yang berniat merusak moral pelajar di sekolah kita. Bahkan mereka udah berhasil menghasut sebagian murid di SMA Gmuzadi."

"Berarti pengawasan sekolah kita kurang akurat," tuturnya sengaja menyindir. "Masa bisa kecolongan gini, sih? Apa papa nggak tahu?"

"Tahu," jawab Grezal enteng, sambil meletakkan cangkir kopinya. "Apa yang kamu lakuin ke mereka aja papa, tahu."

"Kenapa papa diam aja? Kenapa nggak ambil tindakan?"

"Sebagai penerus papa, itu udah jadi hak kamu untuk menyelesaikan perkara yang terjadi." Ayah satu anak itu menyamankan posisi duduknya. "Sengaja papa diam, memberi kamu akses untuk belajar menjadi pemimpin dari sekarang. Toh kamu juga punya kesempatan untuk menjalan tugas membantai mereka. Di samping itu, ada alasan lain kenapa papa bergeming."

"Maksud papa?"

"Mereka bukan siswa biasa. Para pemuda itu adalah orang yang di kirim untuk sebuah misi. Coba tebak, apa misi mereka?"

"Menjatuhkan SMA Gmuzadi," jawab Gaksa tak yakin.

"Betul sekali. Jatuhnya SMA Gmuzadi akan berimbas pada saham papa juga. Dan pesaing bisnis papa selangkah lebih maju dari papa, dengan kata lain mereka mengalahkan kita."

"Jadi yang mengirim mereka adalah rival papa?"

"Seratus buat kamu. Tapi papa belum menemukan siapa dalang di balik semua ini, mengingat pesaing bisnis papa bukan hanya satu. Untuk itu, papa membiarkan semuanya berjalan secara alami. Seolah sudah terperangkap, papa berpura-pura tertipu. Tapi dilain sisi, papa terus menyusut pelaku sebenarnya."

"Jadi papa balik mengelabui mereka?"

Grezal mengangguk sebagai jawaban.

Gaksa berdecak. "Papa emang jago dalam urusan bersaing."

"Tentu," kata Grezal bersikap pongah. "Dan kamu juga harus mencontoh papa. Pintar-pintar dalam mengurus saham. Ingat! Dalam bisnis tidak ada yang namanya teman. Hanya ada musuh. Dan musuh adalah makhluk licik bermuka dua. Tampak bersahabat tapi secara pasif berusaha untuk menjatuhkan."

"Rekan saja bisa mengancam, apalagi lawan. Jadi jangan mudah tertipu. Makanya papa selalu mengajarkan kamu untuk membenci para pengkhianat, karena mereka ada dimana-mana. Dalam bisnis, pun urusan pribadi."

Gaksa dapat menangkap jelas maksud ayahnya. Apalagi kalau bukan menyinggung Aila. Wanita yang sudah lama meninggalkan mereka dan hilang tanpa jejak.

💓💓💓

Langit senja menggelap, berganti menjadi malam. Kicauan burung di sore hari kini telah sirna, teralihkan oleh bisingnya suara jangkrik.

Di ruang beraroma khas obat-obatan, Zivara terlihat nyenyak dalam tidurnya. Di atas brankar, matanya terpejam berselimut kedamaian.

Sekelebat semua berubah tat kala sebuah benda terdengar jatuh membentur lantai. Spontan, gadis berpita merah itu bangkit dari posisi tidurnya.

Ia mengerjap, mengumpulkan kesadaran dan menjernihkan penglihatannya.

"Ngggh," lenguhnya mereganggkan otot.

WINSOME (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang