PART 19

35 5 0
                                    

"Sialan! Siapa nih yang masukin kertas ke dalam laci gue. Awas ya kalau ketangkep," ancam Monic pada segelintir orang di kelasnya, tapi tak di gubris sama sekali.

"Set dah. Lo apa-apaan, sih Nic? Pagi-pagi udah ribut aja. Lihat nih liptint gue jadi belepotan." Ujaran protes itu berasal dari Oca yang duduk bersampingan dengan Monic.

"Tahu, nih. Pagi-pagi udah rusuh aja," timpal Nicky yang duduk di belakang Oca.

"Nih, nih, liat." Monic menunjukkan secarik kertas tepat di depan wajah Oca lalu Nicky. "Gue paling benci kalau ada kertas yang berserakan di laci gue. Pengecualian buat kertas contekan."

"Eh, Lo mah mau enaknya aja." Oca mencebik.

"Eh diam dulu deh." Nicky bangkit, memusatkan atensi pada kertas yang ia pegang. Ia menempatkan diri di antara Oca dan Monic. "Liat nih. Baca."

"Berhenti gangguin Zivara atau gue nggak segan-segan bongkar kedok kalian. Dari pengagum rahasia," baca mereka serempak.  Merendahkan suara, guna mengantisipasi kalau saja ada yang mendengar.

"Wah gawat. Siapa nih yang kirim? Pake bilang 'pengagum rahasia', yang ada penguntit rahasia," koreksi Nicky meluapkan kekesalannya.

"Duh, duh. Gue takut di keluarin. Gimana nih Nic?" Oca sudah ketar-ketir duluan. Nicky hendak melayangkan bantahan namun buru-buru Oca menyela. "Gue ngomong sama Monic, bukan elo. Mulai skarang Lo gue panggil Ky dan Monic, Nic. Puas Lo." Kembali Oca menggigit kukunya cemas.

Di celah pintu yang terbuka, Nada diam-diam mengintip. Ia tersentak ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya. Gadis itu bungkam memejamkan mata, mengira dirinya sudah dipergoki tengah menyaksikan kepanikan Monic beserta dua rekannya.

"Ikut gue, kita perlu bicara."

Mendengar suara Januar, Nada akhirnya menghela napas lega. Ia pun berbalik dan mengekori ketua OSIS-nya.

"Kita mau kemana?" Ia berlari untuk menyamakan langkahnya dengan Januar.

Januar tak menjawab, membuat Nada lagi-lagi harus ekstra sabar. Sedari pagi pemuda itu terus saja mengusiknya, namun tidak jarang ia juga diabaikan. Kesal sudah pasti, curiga apalagi.

Setibanya mereka di taman belakang, Januar mendudukkan Nada dengan cara yang kasar. Ia menarik tangan gadis itu hingga terjatuh tepat di atas bangku.

"Aw, sakit Januar," keluh Nada mengusap bokongnya.

Senyap, Januar duduk di samping Nada tanpa menoleh gadis itu lagi.

"Jadi pacar gue."

Nada yang semula sibuk mengusap pantatnya, langsung mengedarkan pandangan, mencari siapa lawan bicara Januar. Namun nihil, sekelilingnya kosong melompong, di sana hanya ada mereka berdua.

"Lo ngomong sama siapa?" Tanya Nada memastikan.

"Sama siapa lagi kalau bukan elo?"

"Gue?" Unjuk Nada pada dirinya sendiri.

"Hm."

"Apa tadi, Lo ngomong apa? Jangan bikin gue salah paham."

Menghela napas gusar, Januar dengan segenap keterpaksaannya menghadap Nada. "Lo harus jadi pacar gue."

"Lo ngajakin gue pacaran, serius?" Seloroh Nada tak percaya.

"Hm." Januar mengangguk malas.

(*˘︶˘*)


Zivara bersandar di depan kelas Gaksa, menunggu pacarnya itu keluar beserta kawanannya. Ia merasa terganggu ketika ada senior yang melewatinya sembari berbisik-bisik. Picingan yang terarah padanya menandakan jika dirinya sedang di gunjingkan.

WINSOME (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang