Teenager | Delapan

228 56 5
                                    

Malam ini Vian lebih dulu pulang karena orang tuanya beberapa kali menelepon. Ia tidak bisa mengabaikan begitu saja. akhirnya ia memilih untuk pulang dan sekarang Vian sudah duduk di depan kedua orang tuanya.

Darma—Ayah Vian melempar beberapa lembar kertas ke atas meja. Vian sontak membulatkan  mata. Itu adalah lembar nilai hasil ujian dia beberapa hari lalu.

"Kamu ngapain aja di sekolah?" tanya Darma dengan tatapan kecewa pada Vian.

Mira diam memperhatikan. Ia juga sangat kecewa karena nilai-nilai Vian turun. Belakangan ini juga, putranya itu sering pulang larut.

"Dua bulan lagi ada Olimpiade Matematika, Pak Prapto sudah kabarin Ayah kalau kamu salah satu kandidat utama untuk Olimpiade itu."

Vian mendongak, ia tidak ingin mengikuti olimpiade itu. Sungguh ia sudah lelah harus dipaksa belajar terus menerus.

"Tapi, yah—"

"Nggak ada tapi," potong Darma cepat.

"Ayah bolehin kamu terus bergaul dengan temen-temen kamu yang nggak jelas itu, bukan bearti kamu bisa seenaknya ninggalin belajar."

"Mereka sahabat aku, Yah." Vian tidak terima sahabatnya disebut tidak jelas oleh Ayahnya.

"Ah, terserah kamu." Darma sudah tidak nafsu untuk makan.

"Ayah aku mau—"

"Fokus persiapan Olimpiade atau kamu jauhin temen-temen kamu itu."

Final, keputusan Darma sudah mutlak. Ia tidak ingin mendengar alasan apapun dari Vian.

"Ibu ... bantu aku," rengek Vian pada Mira setelah Darma masuk ke dalam kamar.

"Ibu juga ingin melihat kamu dalam olimpiade itu."

Tidak ada satupun yang mau mendengarkannya di rumah ini. Bahkan untuk sekedar menanyakan kesukaannya saja sejak kecil orang tuanya tak permah bertanya padanya.

Vian meremat kertas di tangannya dengan kencang. Tanpa sadar ia menitikan air mata.

🌼

Ardhan benar-benar kesal, ini hal terbodoh yang pernah ia alami. Ia masih tidak tahu siapa yang melakukannya, tapi ia akan mencari tahu dan pastinya akan menghancurkan orang yang telah mempermalukannya. Kedua tangannya terkepal erat, wajahnya mulai mengeras amarahnya sudah menggunung.

Ia meninju tembok di depannya, Ruli dan Dani hingga melompat dari tempatnya karena terkejut. Rian yang ada disebelah Ardhan mencoba menahan tangan cowok itu saat akan kembali menonjok tembok.

"Badan lo udah penuh luka, jangan tambah lagi," katanya. Ia mengajak Ardhan yang dipenuhi emosi untuk duduk.

"Bener, Dhan. Kita bakalan bantu elo buat cari tahu siapa pelakunya." Ruli bersungguh-sungguh saat mengatakannya.

Bahkan cowok itu sudah mengintograsi anak-anak mading. Terutama Nina, cewek tidak bersalah itu kini masih syok karena Ruli mempropokasinya dengan beberapa pertanyaan.

Ia benar-benar tidak tahu, kunci itu menghilang dari tempatnya. Seluruh anggota mading ketakutan karena ancaman yang dilayangkan Ruli.

Mereka bahkan tidak percaya jika Ardhan dan teman-temannya sangat kasar dan tak punya hati. Bahkan Selina kena tamparan Dani saat cewek itu membantu Nina.

"Gue pastiin mereka bakalan membayar semuanya." Kilat kebencian di mata Ardhan semakin berkobar. "Anjing!" maki Ardhan.

"Bokap lo ambil tindakan apa?" tanya Rian, "lebih baik elo di rumah nyokap lo dulu."

TEENAGERS | NCT & REDVELVETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang