Teenager | Tiga Puluh Tiga

101 20 0
                                    

Suara merdu dari salah satu penyanyi kesukaan Nevi mengalun lembut menyentuh indera pendengarannya, bahkan dengan pelan ia mengikuti setiap lirik yang dinyanyikan.

Nevi menikmati musik sambil merebahkan badan di atas kasur, tubuhnya terasa lelah. Isi kepalanya bahkan begitu ramai dalam kesendiriannya. Saat-saat seperti ini membuatnya semakin rindu pada Sang Ayah.

"Ayah, Nevi bingung. Nevi nggak tahu cara memperbaiki semuanya." Kristal bening mengalir dari kedua sudut matanya.

Matanya masih terpejam, namun dadanya mulai merasakan sesak yang teramat mengingat masalah yang sedang ia hadapi.

"Di, cuma elo satu-satunya sahabat perempuan yang gue punya. Elo bukan cuma sahabat, tapi keluarga buat gue." Nevi kembali melirih.

Bahkan tangis tanpa suara malam itu sungguh membuat siapa saja ikut merasakan pilu yang teramat. Bahkan Nathan mengurungkan niat marahnya ketika ia berusaha memaksa masuk kamar kakaknya. Awalnya bocah itu kesal karena kakaknya membuang semua alat lukisnya. Padahal semenjak kepergian ayahnya, Nevi sudah berdamai dan mengizinkan Nathan untuk kembali melukis seperti Sang Ayah. Tapi, saat mendapati Nevi sedang menangis tanpa suara, membuat Nathan berjalan pelan mendekati Sang Kakak.

"Kak, are u oke?" tanyanya, ia teramat pelan saat mengucapkannya.

Lamat-lamat Nevi membuka mata, dengan pandangan memburam ia mendudukan badannya.

"Than," lirihnya, "Kakak cengeng banget, ya?"

Kedua bibir Nathan terangkat, setelahnya ia menggeleng. "Wajar, Kak." Nathan merubah posisi, sekarang ia yang merebahkan badannya di kasur Nevi.

"Masalah sama Kak Dira belum selesai?"

"Elo tahu?" Nevi nampak terkekut, pasalnya ia tidak pernah melibatkan adiknya untuk urusan ini. Ia ingin Nathan fokus belajar karena tahun ini ia akan masuk SMA.

"Dikira Nathan masih bocah terus, elah," sarkasnya. "Nathan denger semua obrolan Ibu, Kakak, Mas Ardhan, sama Mama Maudy. Nathan udah ngerti kali, Kak."

Nevi semakin antusias dengan ucapan Nathan. "Nathan juga tauk kalau Kak Dira marah karena Kakak nggak jujur kalau Mas Ardhan suadara tiri kita, apalagi Mas Ardhan itu orang yang udah buat Kak Dira ...." Nathan tidak melanjutkan ucapannya, hanya tangannya membuat sebuah gerakan melengkung di atas perutnya.

"Than ...," desis Nevi. Nathan tersenyum sumir.

"Maaf ...," ucap Nathan "tapi, kalau dipikir-pikir orang tua Kak Dira jahat deh, misal Mas Ardhan dilaporin ke Polisi, ini pendapatku, ya, Kak. Cuma pendapat," ralat Nathan.

"Kakak juga nggak mau Ardhan di penjara, tapi orang tua mana yang nggak marah misal masa depan anaknya hancur. Gobloknya awal-awal kemarin Ardhan lepas tanggung jawab, gue aja rasanya mau tonjokin itu anak ampe mampus!"

"Sabar Kak, sabar ... itu awal-awal, kan?"

Nevi tersulut emosi jika mengingat tangisan Dira kala itu. Apalagi mengingat wajah menyebalkan Ardhan, Nevi masih ingin mengarungi cowok itu dan menghanyutkannya di kali.

"Saat awal tahu juga aku syok banget, marah juga, apalagi pas Mama Maudy nangis-nangis sama kelakuan anaknya, pengen aku tonjokin juga Mas Ardhannya." Suara Nathan bergetar.

"Aku memposisikan kalau Ibu yang ada diposisi Mama Maudy, hati aku hancur banget Kak. Dan paling kacau kalau Kakak yang ada diposisi Kak Dira, bisa menggila aku ke cowoknya." Nevi merasa terharu dengan ucapan Nathan.

"Tapi, perlahan aku mengerti semua nggak akan selesai kalau pake emosi. Saat Mas Ardhan bersimpuh minta maaf sama Mama Maudy, aku semakin ngerti semuanya, malam itu Mas Ardhan mau tanggung jawab, dan memohon bantuan kalian aku perlahan membaca. Apa nggak mungkin kalau dibicarain baik-baik orang tua Kak Dira bakalan melunak? Semua butuh proses, walaupun prosesnya susah dan lebih banyak sakitnya." Dewasa sekali pemikiran Nathan, Nevi merasa malu pada adik yang selalu ia anggap anak kecil.

"Kakak bingung, Than ... masalah, tuh kayak nggak mau pergi dari kita, Than. Baru aja Kakak lega setelah kejadian sama Tristan, sekarang Dira sama Ardhan. Apalagi Dira susah banget buat diajak komunikasinya."

"Sabar kakakku yang cantik tapi galak—" Nevi melotot, Nathan tidak peduli dan melanjutkan, "—semua pasti ada jalan keluarnya."

Nevi mengerucutkan bibirnya. "Kakak harus apa, Than?"

Nathan nampak acuh ia mendudukan dirinya seraya menaikan kedua bahunya. "Aku hanya bocah piyik ... kenapa kakak tanya ke aku?" Sindir Nathan membuat Nevi tak bisa berkata apa-apa. Karena sindiriannya tepat menyentuh relung hatinya.

"Maaf deh, kalau kamu tersinggung karena nggak pernah dilibatin. Kamu jangan nambahin rasa bersalah kakak dong!" Suara Nevi meninggi bahkan setelahnya ia menurunkan kedua sudut bibirnya seraya merengek pada Nathan.

"Ih, sok cengeng ... najis lah, jangan baikin aku," cicit Nathan semakin membuat Nevi merengek padanya.

"Aku kesini niatnya mau marah sama Kakak, pas lihat kakak udah kayak sadgirl gini aku jadi unmood buat marah-marah."

"Mau marah kenapa sama gue?" Nevi melupakan segala kesedihan dan keriuhan isi kepalanya.

"Dibilang udah nggak mood buat marah juga, jangan mancing mancing ... aku mau balik ke kamar." Setelahnya Nathan berjalan keluar kamar Nevi dan mengabaikan teriakan kakaknya.

"YA! NATHAAAN! MAU MARAH KENAPA?" Maka malam itu, obrolan adik kakak itu berakhir.

🌼

dua hari setelah obrolannya dengan Nathan berlalu, hari ini Nevi akan kembali menemui Dira. Tapi saat ia tiba ia tidak menemui sahabatnya, pasalnya satpam yang biasa ia temui di Loby Dira sudah seminggu tidak kembali ke unitnya. Cemas, Nevi menghubungi Johnny. Sayangnya cowok itu tidak menjawab hingga panggilannya yang ketiga, mungkin Johnny masih marah. Nevi mengabaikan dan memilih untuk menghubungi Vian.

Lagi, Nevi dibuat kecewa karena Vian tidak mengangkat teleponnya. Gadis yang sedang berdiri di depan loby itu kembali mencari nomor lainnya untuk dihubungi hingga suara yang begitu ia kenal menyapanya.

Wajahnya tak bersahabat saat mendapati cowok yang begitu ia ingin remukan tulangnya berdiri di depannya dengan wajah congak.

"Ngapain lo di sini?" Tanpa basa-basi ucap Nevi.

Cowok di depannya kembali melebarkan bibirnya, lalu berkata, "Jangan judes judes, lah, Non." Tangannya tak diam karena sudah mengusap pipi kanan Nevi.

Dengan kesal Nevi menghempaskan tangan itu dari wajahnya. "Si Anjing!" ucapnya.

"Wow, mulutnya makin manis ya, sekarang."

Bola mata Nevi memutar malas mendengar ucapannya cowok di depannya. "Gue nggak ada urusan sama lo, ya, Ri. Mumpung gue masih sabar lebih baik elo enyah dari sini? Atau elo mau gue abisin kayak waktu itu?" Nevi mengerling, begitu menyebalkan bagi Ruri karena gadis itu mengingatkannya saat Nevi menghabisi ia dan kedua temannya di dekat JPO.

"Sabar dong cantik, elo nggak penasaran kenapa gue ada di sini?" tanya Ruri membuat langkah Nevi yang akan pergi dari sana terhenti.

Otak cerdas Nevi dengan cepat mencerna maksud dari Ruri, ia bahkan tidak terpikirkan sebelumnya bahwa selama ini adalah ulah pemuda brengsek itu. 

"Jadi?" Nevi memicingkan mata menatap nyalang pada sosok Ruri yang kini kembalimendekatinya.

"Abang ketemu gede, lo baik-baik aja, kan?" tanya Ruri membuat Nevi diam. Ia tahu bahwa pembicaraan ini mengarah pada Ardhan.

"Gue nggak paham maksud lo," kata Nevi ia kembali beranjak dari sana.

"Sekali bejat tetep aja bejat, Nev," teriak Ruri. "Ardhan bukan cowok baik-baik, karena Ardhan cuma iblis yang lagi nyamar!"

Nevi menghiraukan ucapan Ruri, ia berlalu dari sana. Kali ini ia tidak akan pernah meragukan Ardhan untuk berubah.

"Ruri brengsek, jadi selama ini ulah lu," monolog Nevi.


TEENAGERS | NCT & REDVELVETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang