Dira nyelonong masuk ke kamar Nevi tanpa permisi. Ia kira kamar sahabatnya akan berantakan dan keadaan sahabatnya sudah seperti zombi dengan mata menghitam, rambut berantakkan dan wajah sembab.
Nyatanya, kondisi Nevi sangat baik. Tidak ada kamar berantakan, mata sembab, dan rambut berantakan. Tidak, penampilan Nevi sangat baik.
"Nevi?" Dira berlari lalu memeluknya erat.
Pelukan keduanya mengurai. Sebuah senyum tipis terurai dari bibir Nevi.
"Di, elo kok ada di sini?" tanya Nevi heran.
Bukan jawaban dari bibir Dira yang Nevi dapatkan. Tapi, sebuah pukulan di bahunya yang Dira berikan.
"Di, gila ... sakit woy!" Nevi meringis seraya mengusap bahunya.
"Tauk nggak, gue khawatir banget gila ... gue sampe rela terbang jauh-jauh sama perut buncit gue," oceh Dira seraya memegangi perut dan pinggangnya.
"Sorry, sorry ayo duduk dulu." Nevi membawa Dira untuk duduk di kasurnya.
"Elo kenapa ke sini?" Nevi menyamankan duduknya di atas kasur. "Pas lo telepon gue udah bilang, kalau gue baik-baik, aja, Di."
"Elo nggak baik-baik aja, Vi. Gue kenal elo, please dengan sikap lo kayak gini, gue nggak akan tenang."
Tidak ada jawaban dari Nevi. Lidahnya mendadak kelu, topeng yang susah payah ia pakai tidak berguna untuk Dira.
Sesak itu selalu datang, seakan batu besar dalam dadanya enggan untuk pamit dari sana. Ia lelah tapi ia belum mampu untuk bisa memaafkan dirinya.
Ia tahu, yang dia lakukan membuat semua orang sedih. Terlebih ibunya. Tapi, ia butuh proses untuk semua itu.
Bukan kah setiap orang berhak untuk meratapi kesedihannya? Bukankah setiap orang berhak untuk berlama-lama untuk bersedih? Pertanyaan itu selalu hinggap dalam benak Nevi. Tapi, dilain sisi ia tahu segala ratapan kesedihan yang ia rasakan tidak akan pernah bisa mengembalikan waktu yang telah terbuang.
"Vi, ayah lo udah tenang di sana. Dia pasti bahagia di atas sana. Jadi, please berhenti salahin diri lo sendiri. Ayah elo pasti sedih kalau liat lo kayak gini."
Nevi semakin menunduk, ia tidak ingin kembali menumpahkan air matanya.
"Setiap orang pasti akan kembali pada-Nya, dan kalau kita harus menangisi kepergiaannya. Nggak apa-apa, elo harus bersyukur karena bisa nangis. Karena dengan tangisan elo bisa melepaskan segala rasa bersalah lo. Dan setelah itu hati lo bisa jauh lebih tenang."
"Di ...." Nevi memeluk Dira dan melepaskan segala sesak di dadanya dengan tangisan yang begitu pilu.
Tangis yang ia tahan akhirnya meluap juga dalam pelukan Dira. Nevi hanya sedang berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, itu semua semakin menyakitinya.
Johnny, Tristan, dan Vian sengaja menunggu di luar. Mereka ingin memberikan ruang untuk keduanya bicara. Jika dengan mereka Nevi tidak ingin terbuka, setidaknya dengan kehadiran Dira bisa sedikit membantu.
"Gue lebih seneng Kak Nevi nangis kayak gini. Daripada kayak patung berjalan."
Vian menatap sendu ke dalam kamar. Tristan mengangguk, melihat Nevi si bicara yang selalu pakai urat jadi pendiam, hati Tristan rasanya perih. Terlebih Johnny, ia sudah bersama Nevi sejak kecil. Dulu ketika ayahnya pergi meninggalkan mereka demi wanita lain, Nevi tidak sehancur ini.
"Makasih, ya kalian udah bawa Dira," kata Johnny, ia merangkul Tristan dan Vian.
"Gue nggak bisa lihat sahabat gue sedih lama-lama." Tristan berkata dengan mata menatap Nevi dan Dira. "Kalian jangan buat gue khawatir, ya, kalau ada masalah cerita-cerita."
KAMU SEDANG MEMBACA
TEENAGERS | NCT & REDVELVET
Fiksi PenggemarSejak saat itu, kelimanya menjadi sahabat. Berbagi tawa canda dan tangis kebahagiaan. ©️Aster 🌼