Dira masih mendiami semuanya, terutama Nevi. Kekecewaannya pada gadis itu berada di titik tertinggi. Bahkan Vian tidak mampu untuk meredakan kemarahan Dira.
Kini keempat orang sahabat itu sedang duduk di taman belakang sekolah, tempat favorit mereka karena jarang ada anak lain yang bermain di sana jika bukan siswa laki-laki yang ingin merokok.
Nevi tidak mampu lagi untuk berucap, lidahnya terlaku kelu untuk memberikan alasan pada Dira tentang apa yang telah ia sembunyikan selama ini.
Bukan sebuah kesalahan jika Nevi dan Ardhan telah menjadi saudara tiri, yang menjadi titik masalahnya adalah laki-laki itu orang yang telah menghancurkan dunianya Dira. Bahkan dulu, Nevi menjadi orang nomor satu yang ingin menghancurkan Ardhan. Tapi, kini berbalik bahwa gadis itu menjadi orang nomor satu yang mendukung Ardhan untuk memperbaiki segalanya.
"Vi, elo yakin kalau orang tua Dira enggak akan berbuat yang aneh-aneh ke Ardhan?" Tristan khawatir, ia masih ingat ketika ayah Dira memperlakukannya dengan kasar ketika pria paruh baya itu menyangka dirinya yang telah menghamili anaknya.
"Ardhan siap terima semua konsekuensinya." Nevi hanya berusaha mendukung niat baik Ardhan. Ia ingin semua berakhir dengan baik, terlebih ia ingin bayi yang ada dalam kandungan Dira akan lahir dengan ada sosok seorang ayah nantinya.
"Gue setuju sama Nevi," timpal Johnny, "mau gimanapun Ardhan itu ayah dari bayi yang di kandung Dira."
"Kita tahu, Bang," Vian yang sedari tadi diam ikut bicara. "Tapi, keluarga Kak Dira sekarang lagi baik-baik, aja. Apa enggak bikin mereka heboh lagi kalau tiba-tiba Ardhan nongol dan ngakuin semua kesalahannya?"
"Nah, ini yang gue khawatirin," timpal Tristan.
"Lebih baik terlambat daripada enggak sama sekali, Yan, Tan." Nevi sadar betul jika ayah dan ibu Dira sekarang jauh lebih memperhatikan putrinya setelah kesalahan besar yang menimpa putrinya.
Bukankah keadaan ini jauh lebih baik jika Ardhan mengakui semua kesalahannya dan memperbaiki apa yang seharusnya diperbaiki. Orang tua mana yang akan rela jika anaknya di nodai oleh laki-laki yang tak bertanggung jawab. Semua orang tua pasti akan menghajar habis-habisa lelaki brengsek itu.
Tapi, si laki-laki brengsek itu ingin bertanggungjawab, apa mereka tidak ingin memberikan kesempatan? Nevi selalu berharap yang terbaik untuk keduanya. Pun jika mereka tidak berakhir bersama, setidaknya bayi itu ketika lahir akan tetap memiliki sosok ayah dan ibu kandung nantinya.
Johnny menepuk pelan bahu Nevi, "Nanti kita ke tempat Dira lagi, elo jangan sedih gitu—" Johnhy melirik ke arah Vian dan Tristan "—kita semua bakalan bantu buat perbaikin semuanya."
Tristan dan Vian mengangguk, bahkan Vian kini mendekat kepada Nevi dan memeluk singkat gadis itu.
"Semua orang bakalan selalu di uji dengan masalah setiap harinya, yang kita perlu lakuin itu ... harus tetep berusaha bangkit dari masalah yang ada."
"Wiih, si bontot mulai pinter nih kasih kata-kata bagus," ledek Johnny.
"Yeee, emang elo doangan, Bang yang bisa!"
"Thank's ya, gaes. Gue makin sayang jadinya." Senyum tipis tergambar di wajah Nevira.
"Eh, Kak satu lagi," ucap Vian yang lain diam memperhatikan.
"Eh, gajadi deh, gue lupa," ucap Vian seraya menampilkan barisan giginya.
"Kampret, lo!" umpat mereka bersama.
🌼
Sejak beberapa hari lalu perut Dira mengalami keram, beruntung saat keram itu menyerang Vian ada bersamanya dengan begitu laki-laki itu cepat membawanya ke rumah sakit, di usia kandungan yang sudah mencapai bulan ke delapan memang sering dialami oleh ibu hamil.
Dokter kandungannya menyarankan agar Dira tidak terlalu stress dan harus beristirahat yang cukup. kunjungan ke dokter kandungan diakhiri dengan beberapa vitamin harus di minum oleh Dira.
Vian sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu, Dira merasa bosan sendirian seperti ini. Biasanya Nevi setia menemaninya di rumah, tapi semenjak kejadian di rumah sakit, Dira belum siap untuk bertemu dengannya.
Saat membuka kulkas ada beberapa makanan yang habis, terlebih sore ini langit begitu cerah. Dira akan ke mini market untuk membeli beberapa keperluan dia yang habis. Tapi, sebelum ke minimarket, ia akan mencari udara segar sebentar di taman. Mungkin ia kurang mendapatkan oksigen yang bagus karena selalu di dalal ruangan. Akhirnya ia memilih untuk duduk sebentar di bangku taman seraya merelaksasikan pikirannya yang terlalu keruh akhir-akhir ini.
Dira tidak menyadari jika sejak ia keluar ada seseorang yang terus mengawasinya, ia terlalu tidak ingin diketahui Dira sehingga ia mengambil jarak dengan perempuan itu. Hatinya begitu sesak saat melihat tubuh kecil itu sedikit kelelahan dengan perutnya yang semakin membesar.
Bahkan ketika Dira hampir jatuh karena kakinya sedikit tergelincir, lelaki itu dengan cepat berlari ke arah Dira. Tapi, di sana sudah ada yang menolongnya sehingga ia kembali mundur.
Saat Dira sedang duduk di bangku taman, Maura menghampiri Dira. Tantenya itu sedang ada pekerjaan di Indonesia jadi dia menginap di tempat Dira. Hitung-hitung menemani keponakannya.
"Kamu ngapain di sini?" Maura bertanya, ia menawarkan Dira minuman yang ia bawa. Dira hanya membalas dengan gelengan kepala.
"Aku bosen di kamar terus, Tan." Dira menatap nanar pada langit, saat ini hanya ada beberapa gumpalan awan. "Oia, aku mau sekalain cari beberapa makanan. Tante mau ikut atau ke dalam duluan?"
Maura tampak berpikir, belum lagi seseorang dengan hoodie hitam yang jaraknya tidak begitu jauh dari mereka sangat mencurigakan. Wanita yang lebih tua akhirnya mengangguk.
"Ikuta aja, deh. Lagi juga kamu nanti repot, apalagi kata dokter kamu nggak boleh kecapean." Maura mengingatkan. "Lagian besti besti kamu pada kemana, deh? Hampir dua minggu loh Tante nggak lihat mereka."
Dira terdiam, ia tidak tahu harus menjawab apa.
"Si cerewet kenapa nggak datang-datang? Perasaan Vian lagi, Vian lagi yang dateng?" Dira memucat, ia belum siap menjelaskan pada Maura.
"Ah, mereka udah mulai ujian, ya. Makanya sibuk belajar mungkin."
Dira mengangguk agar pertanyaan yang dijawab sendiri oleh Maura segera berakhir.
Maura kembali melirik ke arah orang yang sejak tadi sedang memperhatikan ke arah mereka. Akhirnya ia memilih mengajak Dira untuk pergi dari taman dan ke minimarket.
"Oia, Tante lupa. Katanya Mama Papamu mau datang."
"Loh, iya?"
"Iya, tadi telepon Tante. Katanya ada hal penting mau diomongin sama kamu."
Dira tidak bertanya lagi, dia hanya memikirkan beberapa kemungkinan membuat kedua orang tuanya mau meninggalkan pekerjaannya hanya untuk datang bertemu dengannya.
Seseorang yang sejak tadi memperhatikan keduanya, sedikit mencuri dengar apa yang mereka bicarakan. Ia hanya bisa menghela napas seraya netranya menatap bahu Dira yang semakin menjauh dari matanya.
"Semoga semua akan baik-baik, aja, Di. Gue menyesal karena udah percaya Ruri gitu, aja," katanya dengan berjuta penyesalan tergambar jelas dikedua obsidiannya.
Love From Aster
💙
KAMU SEDANG MEMBACA
TEENAGERS | NCT & REDVELVET
FanfictionSejak saat itu, kelimanya menjadi sahabat. Berbagi tawa canda dan tangis kebahagiaan. ©️Aster 🌼