Teenager I Dua Puluh Tujuh

153 31 4
                                    

Semua beban terasa menumpuk dikedua bahu Tristan entah ia sanggup atau tidak. Setidaknya dia sudah merasa bulat dengan segala keputusannya. Setelah dari tempat Dira, ia memutuskan berada di tempat, dimana saat ini ia sedang berdiri seraya merentangkan kedua tangan dan memejamkan mata. Hingga suara yang begitu ia kenal menyapa kedua rungunya.

"Ngapain elo di sini?"

Suara itu terasa begitu nyata, hingga Tristan memilih membuka kedua matanya dan menoleh kesampingnya. Kedua irisnya melebar, seketika butiran bening itu mulai meluncur melalui kedua sudut matanya. seseorang yang begitu ia rindukan sedang berdiri bersamanya. Apa ini mimpi? Jika benar, ia berharap tidak akan pernah terbangun.

"Abang, gue kangen," rintihnya.

Seseorang yang berdiri disampingnya itu lantas tersenyum lalu memeluk lelaki yang lebih muda. Ia menepuk bahu Tristan lembut dan mengajaknya untuk duduk.

Keduanya kini duduk bersebelahan, mereka menikmati semilir angin yang menerpa wajah dan memainkan rambut mereka.

Suara air mengalir seakan menjadi musik pengiring, bahkan daun yang tertiup angin pun ikut mendendangkan nada kerinduan diantara keduanya. Tristan merindukannya, jelas, sangat merindukan sosok kakak laki-lakinya.

"Kenapa lagi? Berantem sama Ayah?"

Tristan tidak sanggup untuk menjawab, karena Teo benar adanya. Air mata Tristan semakin mengalir deras, ditambah isakannya yang terdengar begitu pilu. Dia hanya menunduk, tidak sanggup untuk mengangkat wajahnya. Ia terlalu rapuh untuk berhadapan dengan Teo.

"Tristan, lihat, Abang!" titah Teo, namun tetap Tristan abaikan. Saat ini aliran sungai di bawah sana jauh lebih menarik baginya.

Tristan sudah terlanjur pasrah dan bosan dengan jalan hidupnya semenjak kepergian sang kakak.

Mau dibaikin seperti apapun dan diberi kata semanis apapun, tidak akan mempan. Saat ini sosok kakaknya yang ada di depannya saja ia anggap sebagai mimpi indah sebelum ia benar-benar pergi selamanya.

"Tristan dengerin Abang, masih banyak yang butuh kamu. "

"Siapa? Enggak ada satu orangpun yang peduli sama gue," Tristan mengabaikan ucapan Teo. "Bahkan Bunda, Ayah ... mereka enggak anggap gue ada, Bang," kata Tristan seraya terisak.

"Mereka sayang sama kamu, tapi, cara mereka aja yang salah."

Tristan berdecak, "gue capek, biarin gue ikut sama elo, Bang."

Teo menggeleng. "Di sini bukan tempat, lo. Gue mohon, elo pulang," pinta Teo, "setelah ini semua akan membaik, inget sahabat-sahabat lo masih menunggu dan butuhin, elo."

"Abang!" panggil Tristan, setelah mengucapkan itu Teo menghilang. Tristan berdiri lalu berlari mencari sang kakak.

Kosong, hanya hembusan angin menerpa wajahnya. Hingga sebuah suara kedua orang tua dan sahabat-sahabatnya memanggilnya, ia berbalik lalu sebuah cahaya menghampirinya dan semua kembali menjadi gelap.

TEENAGERS | NCT & REDVELVETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang