Matahari sudah tinggi saat Nevi membuka mata. Hari ini Nura tidak ada di rumah karena ke Bandung menemani Nathan melihat sekolah barunya. Iya. Nathan akan bersekolah di sana, sebuah sekolah asrama. Itu semua atas permintaannya.
Drrt ... Drrtt ....
Ponsel Nevi bergetar, dengan kesadaran yang belum penuh ia menelusuri nakas samping tempat tidurnya dengan tangan. Saat mendapatkan ponselnya ia langsung menggeser layar berwarna hijau.
"Halo, Bu?" sapa Nevi dengan suara parau.
"Kamu baru bangun?" Seharusnya Nura tidak heran jika hari libur seperti ini putrinya bangun siang. Tapi, hari ini Nura sudah berpesan agar Nevi bangun pagi, karena ia harus mengantarkan barang pesanan Maudy.
"Ibu, sabtu itu waktunya bangun siang." Nevi berkata seraya menguap.
"Ibu sudah duga, kamu lupa kemarin Ibu pesen apa ke kamu?" Suara Nura terdengar seperti menekankan sesuatu.
Otak Nevi langsung diajak bekerja untuk mengingat sesuatu. Nevi menggaruk pelipisnya yang yang tidak gatal. Tidak lama ia menepuk keningnya cukup keras hingga ia meringis dibuatnya.
"Ibu ... maaf, aku lupa. Sumpah beneran lupa."
"Iya, ibu percaya, kok. Sekarang kamu siap-siap, abis itu jangan lupa ke rumah Mama Maudy."
Dengan berat hati Nevi mengiyakan permintaan Nura. Bukan perkara mudah untuk melangkahkan kaki ke rumah Maudy. Tidak, Nevi sudah tidak mendendam. Bahkan setelah kepergian Sang Ayah, Nevi lebih sering bertemu Maudy karena wanita itu selalu berkunjung ke rumahnya.
Hanya saja ia masih enggan untuk bertemu Ardhan. Cowok itu masih menyisakan kebencian di hatinya. Bukan hak Nevi untuk membencinya, hanya saja kesalahan yang telah lelaki itu lakukan kepada Dira—sahabatnya—membuat Nevi membencinya hingga ke dasar jurang terdalam.
Setelah beberapa menit bersiap akhirnya Nevi selesai. Ia turun dan mencari barang yang akan ia antar untuk Maudy.
Nevi sempat ragu untuk meminta Tristan menemaninya, tapi ia harus ditemani agar memiliki alasan untuk tidak berlama-lama di sana. Biasanya ada Johnny, tapi Nevi sedang menghindari cowok itu sekarang. Sedangkan Vian sedang pergi bersama keluarganya.
Setelah mengirim pesan pada Tristan yang dijawab oke oleh lelaki itu, Nevi langsung bergegas mencari kunci mobil dan pergi.
🌼
Setelah mendapat telepon dari Nevi, Tristan segera berganti baju. Tapi suara barang dibanting membuat ia berbalik dan keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi di sana.
Sejak semalam, ibunya memang sedang kambuh. Tapi, pagi tadi sudah membaik. Bahkan Lyra sempat membuatkan sarapan untuknya. Namun, saat netra pekat milik Tristan menangkan kekacauan di ruang tengah. Ia sadar, Lyra belum sepenuhnya membaik.
"Bunda!" Tristan berlari dan menarik Lyra dalam pelukannya. Ia tidak melihat sosok Rama di sana.
"Tristan ....," lirih bibir Lyra memanggil nama putranya. Lelaki itu mengangguk dengan bibir bergetar.
"Tristan?" Lagi Lyra menyebut nama putranya. Ia mengusap lembut wajah Tristan, Kasih sayang terpancar dari binar matanya.
Itu tak berlangsung lama, karena setelahnya bibir Lyra bergetar. Isak tangis tertahan terdengar dari bibirnya dengan napas tersendak. Tatapannya berubah pilu dan kini air mata berberondong untuk keluar.
"Arrgghhh! Enggak! Anak aku nggak meninggal," teriak Lyra kembali menghancurkan hati Tristan.
Jemarinya dengan kuat dan brutal meremat rambutnya. Kepalanya menggeleng cepat disertai erangan-erangan pilu darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEENAGERS | NCT & REDVELVET
FanfictionSejak saat itu, kelimanya menjadi sahabat. Berbagi tawa canda dan tangis kebahagiaan. ©️Aster 🌼