Teenager | Dua Puluh Enam

185 37 4
                                    

Dua hari terakhir Tristan menemani Dira, dia tidak ingin sesuatu kembali terjadi pada sahabatnya. Belum lagi kandungan Dira sudah semakin membesar.

Saat ini kedua sahabat itu sedang duduk di sofa sambil menonton TV. Tidak, lebih tepatnya TV hanya dihidupkan karena keduanya larut akan pikirannya masing-masing.

Dira yang menatap kosong mengingat segala kenangannya bersama Ardhan dan meratapi betapa perihnya takdir yang ia miliki.

Sedangkan Tristan tidak hentinya rekaman pertengkarannya bersama Ayah dan Ibunya kemarin lusa. Ia terlalu lelah untuk berpura-pura. Ia mulai merasa tidak layak untuk tetap ada di dunia dengan bayang-bayang kakaknya.

"Aku muak dengan ini semua." Suara Tristan meninggi.

"Apa nggak bisa, sekali ... aja, Ayah lihat ke arah aku?" Tristan meremas rambutnya kasar.

Tidak ada jawaban dari Ayahnya. Ibunya hanya bisa menangis menyaksikan itu semua. Makan malam mereka berakhir berantakan. Selalu seperti itu.

"Ayah sama Bunda, mana pernah peduli sama aku, yang kalian peduliin cuma Bang Teo." Tristan menatap Lyra dan Rama bergantian. "Dari kecil  selalu Bang Teo yang kalian dulukan, bahkan aku harus relain mimpi aku demi Bang Teo." Tristan melampiaskan amarahnya.

Air mata melesak keluar tanpa diminta, membuat aliran deras di pipi Tristan.

"Bahkan saat Bang Teo meninggal ... aku yang kalian salahin?"

Plaaakkk

Tamparan di pipinya sangat kuat, bahkan sudut bibir Tristan mengeluarkan darah.

Ibunya sejak tadi sudah menangis, di otaknya potongan potongan saat kecelakaan hari itu muncul bergantian. Bahkan tubuh kedua putranya yang dipenuhi darah nampak begitu nyata baginya. Semakin sesak yang dirasa saat kenangan dirinya dan suami mendengar ucapan dokter bahwa  salah satu putranya harus pergi untuk selamanya. Itu membuatnya semakin kalut dan kosong.

Tristan tak peduli dengan teriakan penolakan akan ucapannya dari Sang Ibu, ia tetap melanjutkan perkataannya. "Dari kecil, aku selalu mau, sekali ... aja, Ayah bilang ke aku ...," Suara Tristan bergetar, "Kamu hebat, ayah bangga sama Tristan ... cuma itu, Yah ... tapi, ayah—"

Rama diam tak bergeming, ia hanya menatap Tristan sambil memeluk Lyra.

"Tapi, selama ini yang selalu ayah sama bunda banggain cuma Mas Teo, Mas Teo, Mas Teo terus!" Tristan meledak.

"Kamu jangan kurang ajar, Tristan!"

"Aku capek, yah ... harus pura-pura jadi sosok Mas Teo." Tristan menghampiri Lyra. "Bunda lihat aku, aku Tristan Bun bukan Mas Teo." Ia bersimpuh di kaki Lyra. "Mas Teo udah nggak ada. Ini aku Tristan, Bun ... anak bunda."

Lyra menggeleng, menutup telinga seraya berteriak, "Teo masih ada, anak Bunda masih hidup. Teo nggak pergi ke mana-mana."

Lyra menarik tubuh Tristan untuk berdiiri. "Kamu Teo, kan ... kamu Teo anak Bunda?" Tangannya mengusap lembut kedua pipi Tristan yang sudah basah dengan air mata. "Mata ini ... jelas Bunda sangat kenal, ini punya Teo, anak Bunda."

Tristan menggeleng tak percaya, ibunya selalu tak pernah sadar akan keberadaanya. "Aku Tristan, Bun ... bukan Mas Teo," lirih Tristan.

Lrya seakan sadar, ia mendorong Tristan menjauh lalu berteriak dan meraung memanggil nama putranya.

"Teo ... kamu di mana, Nak ... ini Bunda Teo." Lyra semakin tak terkontrol ia berjalan menyusuri sudut rumah seraya memanggil nama putra sulubgnya.

Rama mendekati istrinya lalu memeluk untuk menenangkan. Selama ini ia berusaha untuk mencegah semua ini terjadi. Kehilangan putra sulungnya secara mendadak membuat Lyra hampir gila dan berusaha mengakhiri hidupnya.

Namun, semua berangsur pulih ketika Lyra sadar dari masa kritisnya. Walau keduanya harus mematikan sosok Tristan dalam keluarga itu. Karena sesungguhnya Teo memang menetap di sana, bahkan dalam diri Tristan ada sosok Teo.

"Kamu puas, hampir membuat Bunda kamu celaka?"

Lyra sudah ditenangkan oleh Rama. Saat ini istrinya sedang tertidur.

"Aku capek, Yah selalu jadi yang nggak pernah dianggap."

"Ayah cuma minta kamu sabar, ayah membebaskan kamu melakukan apapun. Asal jangan pernah buat Bunda kamu kambuh."

"Ayah bilang bebas? Lalu kenapa formulir pendaftaran balap motor aku, ayah sobek?"

"Itu demi Bun—"

"Demi Bunda atau keegoisan ayah aja?" potong Tristan cepat.

Sedikitpun Rama tidak memikirkan perasaan Tristan yang saat ini hancur berkeping-keping. Balapan itu sudah sejak lama ia perisapkan Sosok Tristan sepertinya memang tidak diinginkan di sana.

"Aku benci sama ayah," ucap Tristan penuh kegetiran.

"Itu demi kebaikan kamu, ayah enggak mau kejadian itu kembali terulang."

Tristan mengabaikan ucapan ayahnya. Ia terlalu lelah untuk segala kebohongannya di rumah. Setelahnya ia pergi, mengabaikan panggilan dari Rama. Ia muak dan benar-benar ingin mengakhiri segalanya.

"Tan, Tristan ...." Guncangan pada bahunya membuat Tristan sadar dari lamunan. Ia terlalu larut dengan kejadian semalam yang terus berputar di otaknya.

Di satu sisi ia mengkhawatirkan ibunya, namun kecewa dalam hatinya terus menguasai dan berkahir keinginan untuk mengakhiri lebih dalam.

"Elo kenapa?" Lagi Dira bertanya.

"Di, maaf," cicit Tristan, lelaki itu memutar duduknya mengahadap Dira.

"Di, kalau gue pergi kalian bakalan tetap inget gue, kan?"

Dira mengerutkan kening mendengar pertanyaan Tristan. "Elo ngomong apa, sih?"

Tristan tidak menjawab, ia hanya tersenyum kecil. Dira sadar sahabatnya sedang tidak baik-baik saja.

Dira mendekatkan duduknya pada Tristan dan memeluknya erat seraya menepuk punggungnya.

"Kebiasaan banget lo kalau lagi sedih mau pergi terus yanh diucap."

Tristan berusaha melepaskan diri dari pelukan Dira, tapi perempuan itu semakin erat memeluk Tristan.

"Tan, jangan pernah mikir buat pergi ninggalin kita." Tanpa terasa air mata Dira menetes diujung mata. "Kita semua ... terlebih gue, butuh elo. Elo yang selalu nguatin kita. Elo yang selalu dukung kita semua."

"Bukannya elo yang pernah bilang, kalau kita capek sama jalan hidup kita, kita cukup istirahat bukannya berhenti. Apalagi harus pergi."

Dira tahu, kata pergi yang diucapkan Tristan bukan selayaknya pergi yang sesungguhnya. Anak itu seringkali mengatakan ingin pergi yang berarti ia ingin pergi untuk selama-lamanya. Pergi dan takkan pernah kembali, untuk mengakhiri segala kepenatan di dunia.

Dira sempat ingin pergi, namun Tristan menguatkannya untuk bertahan. Tapi, kenapa sekarang laki-laki itu yang ingin pergi?

"Maaf," ucap Tristan isakan Dira berubah menjadi sebuah tangisan.

Masalah memang terkadang sekonyol itu untuk dihadapi. Namun, Tristan terkadang lupa jika masalah akan selalu menempel dalam hidupnya—hidup siapapun.

Bukankah Tristan sudah berulang kali mengingatkan dirinya sendiri untuk menerima semua masalahnya. Tapi rasa kecewa itu kian hari kian menggunung, menyisakan sebuah borok yang semakin menanah tepat di hatinya.


Aster

Pren, sorry baru sempet up...
RL aku udah mulai sedikit rapet kegiatannya😁

Tapi, tenang aku bakalan selalu sempetin buat nulis cerita ini sampe akhir kok.
Tinggal bbrp part aja menuju akhir, jadi ttp stay ya sampe ini tamat🥲

Pokonya makasih buat Pren yang udah setia baca sama nunggu cerita ini...
Makasih, lope lope full Pren😘😍

TEENAGERS | NCT & REDVELVETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang