Teenager | Dua Puluh Delapan

124 28 6
                                    

Ruang bercat putih dengan wangi khas obat-obatan menyeruak ke indera penciuman mereka yang sedang berdiri dengan perasaan yang tak bisa di kiaskan. Resah, gelisah, takut, dan entah rasa apa lagi yang menyelimuti hati mereka. Namun, rasa takut akan kehilangan begitu menguasai.

Di depan pintu bertuliskan ruang operasi Johnny dan Vian menunggu dengan hati tak tenang, di kursi ada Lyra dan Rama saling menguatkan. Ini kali kedua mereka harus merasakan perasaan ini, tapi kali ini rasa takut akan kehilangan jauh lebih mengerikan dibanding sebelumnya. 

Dira berlari dengan perut yang semakin membesar disampingnya ada Nevi yang menemani, air mata tak henti mengalir dari kedua obsidian mereka.

"Jo, Tristan, Jo ...." Hanya itu yang bisa Dira ucapkan, ia tak mampu lagi untuk berkata, bahkan kini kakinya semakin tak mampu untuk menompang tubuhnya.

Beruntung Vian dan Johnny segera menghampiri lalu membawa Dira untuk duduk.

"Kalian tenang, Tristan pasti bisa lewatin ini semua."

"Tristan baik-baik, aja, kan Jo, Yan?" Nevi berharap kedua sahabatnya memberikan jawaban yang membuatnya jauh lebih tenang.

Namun, diamnya Vian dan Johnny membuat Dira semakin histeris. Dada Nevi semakin sesak rasanya.

"Ini semua salah gue, coba kalau Tristan enggak gue biarin pergi kemarin, ini pasti nggak bakalan terjadi," tangis Dira jauh lebih kencang dibanding sebelumnya. Dia tak hentinya menyalahkan diri sendiri.

Nevi semakin erat memeluk Dira berusaha menguatkan, "Jangan salahin diri, lo, ini bukan salah elo, Ra."

Dira menggeleng, suaranya semakin parau. Ia tak henti menyalahkan dirinya.

Melihat begitu pilunya keempat sahabat Tristan, membuat Lyra seakan tertancap pisau tak kasat mata tepat di hatinya. Putranya sedang berjuang di dalam sana. Seketika kepalanya terasa terhantam batu besar diikuti dengan dengungan kencang pada kedua telinganya. Kedua matanya terpejam dan Lyra jatuh tersungkur di pangkuan Rama.

Saat kedua mata Lyra terbuka, ia melihat suster dan dokter sedang mendorog kencang ranjang pasien menuju ke arahnya. Ia melihat jelas bahwa kedua putranya ada di ranjang itu dengan tubuh bersimbah darah.

"Teo ... Tristan?" Lyra menggeleng, hatinya bagaikan hancur berkeping-keping melihat kedua putranya sedang terbaring tak berdaya.

"Dokter, tolong selamatkan anak saya ... dokter saya mohon," pinta Lyra.

"Ibu maaf, kami harus segera melakukan tindakan pada kedua putra Ibu. Ibu mohon bersabar untuk menunggu dan saya mohon bantu do'a untuk keduanya."

Hanya itu yang bisa diucapkan oleh dokter yang akan menangani kedua anak Lyra. Rama segera merengkuh sang istri yang tak henti memegangi tangan dokter.

Pintu ruang operasi tertutup, Tristan dan Teo berada di ruang berbeda dengan penanganan yang sama. Saat ini hanya untaian doa yang bisa Lyra dan Rama ucapkan, andai kedua putranya tidak datang untuk menyusulnya, mungkin kecelakaan ini tak akan pernah terjadi. Rama sungguh menyesal.

"Maafkan saya, Bun, maaf," lirih Rama berucap. Lyra sungguh tak kuasa untuk menerima permintaan maaf dari Rama. Hatinya sudah hancur tak berbentuk.

Satu jam setengah telah berlalu, kini kedua dokter itu keluar dari ruang berbeda dengan raut wajah tak jauh berbeda.

"Keluarga pasien Teondaru."

"Kelaurga pasien Tristan," panggil dokter yang lebih tinggi.

"kami keluarganya, ' jawab Lyra dan Rama menghampiri dokter yang lebih tinggi lebih dulu.

"Putra Ibu dan Bapak selamat, tapi kami mohon maaf karena ada pecahan kaca yang masuk ke mata anak ibu, sehingga anak ibu mengalami kebutaan."

Lyra berteriak histeris mendengar ucapan dokter yang menangani Tristan. Kemudian ia mengahmpiri dokter yang menangani Teo, tapi dokter itu sunggu menampakkan wajah yang sangat tak ingin Lyra lihat, dokter itu menggeleng dan menggumamkan kata maaf lalu kembali berkata, "Putra Ibu tidak bisa kami selamatkan, karena terjadi pendarahan dalam otak yang mnengakibatkan kematian."

"Tidak ... Anakku, Yah ... anakku," Lyra semakin histeris hingga kedua kakinya tak mampu lagi menompang badannya. 

Hari itu seluruh jiwa Lyra seakan ikut pergi bersama jiwa anaknya-Teo. Kondisi Tristan yan berangsur pulih membuat Lyra semakin rapuh. Berkat Teo Tristan bisa kembali melihat. Namun, saat melihat sorot mata teduh milih Teo yang kini ada dalam diri Tristan membuat Lyra seakan enggan melepaskan sosok putranya itu, Sehingga muncul delusi bahwa Teo masih ada bersamanya, bahkan seiring berjalannya waktu yang tidak ada di rumah itu bukanlah Teo melainkan jiwa Tristan yang perlahan terhapus dari dunianya Lyra.

===

Bangsal dengan nomor 127 Melati adalah tempat dimana Lyra sedang terbaring, saat di ruang operasi siang tadi dia tidak sadarkan diri. Kini ada Rama sedang bersamanya, pria paruh baya itu tak hentinya merafalkan berjuta do'a untuk putranya yang tengah berjuang antara hidup dan mati, serta istrinya yang belum sadarkan diri.

Tangan Lyra mengalami pergerakan kecil, tak lama kedua matanya terbuka perlahan. Ia membiasakan kedua netranya kepada tempatnya kini. Kepalanya masih sedikit pening tapi ia memanggil pelan nama sang suami.

"Sayang," panggil Rama seraya menggenggam erat jemari Lyra.

"Mas, Teo sama Tristan, Mas. Mereka sekarang di mana?" tanya Lyra, Rama sudah menduganya, istrinya kembali terguncang.

"Mas, Tristan sama Teo, Mas, anak kita, Mas ...."

Lyra menangis dalam pelukan Rama, "Teo sudah nggak ada, sayang. Sekarang cuma Tristan yang ada, tolong kamu jangan seperti ini," pinta Rama pria itu pun tak bisa menahan air matanya untuk keluar. "Aku mohon, saat ini Tristan butuh kita."

Lyra terdiam, ia meremas kuat baju Rama dengan kedua tangannya. Ia kembali menangis seraya memukul sembarang tubuh Rama. "Semua ini karena kamu," ucapnya, "kamu emang jahat, Mas ... andai kamu nggak tergila-gila dengan wanita itu, anak kita bakalan baik-baik, aja sampai sekarang, Mas. Teo nggak akan pergi, Tristan juga nggak akan pergi dari kita."

Lyra melerai setiap ingatannya, ia melampiaskan semua kalimat yang tertahan selama ini kepada Rama. ia terlalu bodoh karena menutup mata dan telinga untuk semua perbuatan suaminya. Kini, ia mengingatnya, hari dimana ia kehilangan putra sulungnya. Hari itu adalah kehancuran dunia yang sepenuhnya ia taruh kepada kedua putranya itu. Semua telah Rama hancurkan dalam seketika.

"Kamu pembunuh!" hardiknya. Lyra lepas kendali, ia melampiaskan rasa sakitnya dengan berteriak, menangis dan menghancurkan apapun yang ada di depannya.

Hingga Johnny masuk ke ruangan itu untuk memberi kabar kepada kedua orang tua sahabatnya.

"Om, Tante, Tristan ...."


Aster

TEENAGERS | NCT & REDVELVETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang