Satu jam telah berlalu ditemani dengan ritme jantung yang tak beraturan. Gelenyar itu terus merambat membuat hati tidak tenang, bahkan nyerinya menjalar keseluruh tubuh hingga ke tulang.
Takut, sesungguhnya saat ini satu kata itu yang mampu menggabambarkan segalanya. Takut akan kehilangan, takut untuk menerima segala kenyataan yang akan mereka hadapi, namun dari rasa takut itu semua yang amat sangat membuat sesak adalah mereka sangat takut untuk dipaksa merelakan sebuah kepergian tanpa berpamitan hingga berakhir harus melupakan.
Dira masih menangis, tapi tangisnya tak lagi terdengar seperti sebelumnya. Nevi menatap kosong lantai di bawahnya, ia sungguh tak kuasa berbicara bahkan hanya untuk satu kata. Lidah terlalu kelu untuk berkata.
"Vi, apapun yang terjadi kita harus kuat. Tristan bukan sahabat yang lemah, dia cuma lagi lelah jadi dia cuma mau istirahat bentaran."
Kepala Nevi terangkat, walau Johnny sedang tersenyum tapi, mata sahabatnya itu tidak bisa berbohong bahwa lelaki jangkung itu juga sedang menata kewarasannya untuk bisa memguatkan lainnya.
"Jo, gue tauk Tristan itu kuat, gue juga percaya dia bakalan bisa lewatin semuanya." Nevi menunjuk tepat di dadanya, "Tapi, kenapa di sini nggak bisa tenang, Jo. Gue bener-bener takut." Aliran sungai kecil mulai kembali membanjiri wajah Nevi.
Johnny menarik Nevi dalam pelukannya. "Tristan pasti bisa lewatin ini semua, kita harus yakin."
Pintu ruang operasi terbuka, semua yang di sana bergegas menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruang itu.
"Dokter, bagaimana kondisi teman kami, Dok," tanya Johnny tergesa.
"Orang tuanya ke mana ya, Dek?" Dokter itu balik bertanya.
"Mereka sedang ada di ruang rawat, Dok," jawab Vian.
"Teman kami gimana, Dok?"
"Adek-adek tenang, teman kalian sudah selesai kami tangani, kita tunggu untuk observasi beberapa jam ke depan," jawab dokter, "Saya minta tolong untuk kabari kedua orang tuanya, ya, saya tunggu di ruangan saya."
"Dok," Dira menarik lengan dokter yang akan meninggalkan mereka. "Temen saya baik-baik, saja, kan, Dok?"
Dokter itu mengangguk, "Teman kalian baik-baik, saja. Dia kuat karena bisa melewati masa kritisnya." Dokter itu mengusap lembut punggung tangan Dira. "Kamu tenang saja, bantu do'a dan kalian juga harus istirahat."
Dalam diam keempatnya hanya menyaksikan kepergian Sang Dokter, berharap apa yang dokter itu katakana benar adanya. Tristan akan baik-baik saja, semoga semua pengharapan mereka akan berujung dengan kemanisan.
"Ra, lu istirahat dulu, ya. Kasihan bayi lo, jangan capek-capek." Johnny mengucapkannya lembut ia takut Dira akan mengira bahwa dia mengusirnya.
"Jo, gue baik-baik, saja. Please, lah ... gue mau nunggu sampe Tristan sadar, gue nggak akan tenang sebelum lihat sendiri kalau dia baik-baik, saja."
"Tapi, Ra ...."
Nevi menggeleng kepada Johnny, ia tahu lelaki itu mengkhawatirkan Dira dan bayinya. Namun, Dira si keras kepala ini tidak akan mau pergi dari sana.
"Bang, gue bakalan jagain Kak Dira sama Kak Nevi. Sekarang elo hampirin bokap nyokap Bang Tristan dulu, aja. Takut penting, ditunggu dokter."
"Oke, gue titip mereka, ya."
= = =
Johnny bergegas ke ruang rawat Lyra, ia tidak pernah menyangka jika keluarga Tristan seperti ini. Tristan tidak banyak bercerita tentang kondisi keluarganya, Johnny hanya menangkap sekilas saat Tristan bercerita jika ia tidak pernah dianggap di rumah. Ia kira itu hanya perlakuan sekedar yang dianggap biasa oleh mereka. Nyatanya, Tristan terkalahkan oleh seseorang yang telah meninggal yaitu Teo-Kakaknya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEENAGERS | NCT & REDVELVET
FanfictionSejak saat itu, kelimanya menjadi sahabat. Berbagi tawa canda dan tangis kebahagiaan. ©️Aster 🌼