Qosidahan

410 81 137
                                    

Sri dan kedua temannya—Bintaya dan Ila—sedang memasuki sebuah musholla kecil yang berada di dalam sekolahan milik mereka.

Saat ini, mereka sedang mengadakan sebuah rapat dari Organisasi Rohis yang mereka ikuti di sekolah. Meski posisi mereka saat ini sedang memasuki liburan semester, tapi organisasi ini tetap berjalan. Hanya ada satu kemungkinan organisasi ini berjalan saat liburan, itu pasti karena akan ada sebuah acara.

"Jadi anak-anak, tujuan saya mengumpulkan kalian di sini adalah untuk membahas acara qosidahan kalian," ujar Umi Ella yang merupakan Guru Pembina Organisasi Rohis.

"Qosidahan?" tanya mereka serempak.

"Iya. Jadi setiap hari jum'at, di Masjid Al-Iman, 'kan, suka ada acara untuk anak yatim gitu. Nah, jadi Umi pengen kita juga mengisi acara di sana. Agar kalian bisa menampilkan acara qosidahan yang bagus, maka akan ada anak dari pesantren yang akan mengajari kalian."

Beberapa orang yang mendengarnya ada yang merasa gugup sebelum mulai acara, tetapi ada juga yang merasa sangat bersemangat seperti yang dirasakan oleh Sri, Ila, dan Bintaya.

"Wah! Keren,ya. Pertama kalinya kita disuruh ngisi acara beginian." Bintaya berseru kepada Ila dan Sri. Posisi duduk mereka bertiga saat ini adalah sejajar.

"Iya, apalagi ada anak pesantren yang bakalan ngajarin kita. Setiap kali dengar kata pesantren aku jadi pengen pergi ke pesantren." Terdapat nada harapan dalam ucapan yang dilontarkan oleh Sri. Dia tidak berbohong saat menyebutkan keinginannya. Sri sungguh ingin ke pesantren.

"Uang dari mana lo untuk masuk pesantren? Emang anak dari tukang gado-gado bisa pergi ke sana? Jangan halu, Sri-Wijaya."

Sri, Ila, dan Bintaya menengok ke belakang, ke arah sumber suara yang mengucapkan kalimat menjatuhkan. Suara itu berasal dari Aini.

Aini adalah orang yang sangat membenci Sri. Aini benci Sri yang ramah dan memiliki banyak teman. Lebih tepatnya Aini membenci orang yang dengan latar belakang sangat terbatas akan perekonomian, tapi bisa dengan mudah menjadi pusat perhatian tanpa diminta. Bagi Aini orang-orang seperti itu hanyalah orang yang tidak tau diri.

"Eh, nama temen gue Sri, ya, bukan Sri-wijaya. Asal lo tau, hanya karena Sri anak dari tukang gado-gado bukan berarti dia enggak bisa buat masuk ke pesantren." Ila membalas ucapan Aini dengan tidak kalah ketusnya, sama seperti saat Aini berucap kepada Sri tadi.

Sri yang tidak ingin memperpanjang masalah berusaha untuk meleraikan. "Udahlah, La. Enggak usah diladenin."

"Iya. Nanti kamu bisa gila kalau ngeladenin Aini. Aini, 'kan, gila, nanti kamu ketularan."

Merasa tersinggung dengan ucapan yang diberikan oleh Bintaya, Aini naik pitam hingga dia berkata sembari meninggikan suaranya. "Maksud lo apa!"

Bentakan Aini cukup keras sehingga ia menjadi pusat perhatian.

"Suara apa itu?" tanya Umi Ella.

"Suaranya Aini, Umi. Dia marah gara-gara dikatai gila sama Bintaya. Padahal, 'kan, Aini duluan yang mulai. Aini tadi ngeledekin Sri. Aini bilang, kalau Sri itu cuman anak tukang gado-gado yang enggak bakal bisa masuk ke pesantren." Ila berkata jujur dengan nada ucapan yang mirip seperti seorang anak kecil yang sedang mengadu, tanpa sedikit pun rekayasa dalam ucapannya.

Anggota rohis lain yang berada di kelas itu tidak heran dengan apa yang diucapkan oleh Ila. Semua anggota rohis sudah mengenali seperti apa pedasnya mulut seorang Aini. Terkadang dengan karakter Aini yang seperti itu, mereka bertanya-tanya untuk apa Aini bergabung ke Organisasi Rohis? Untuk memperbaiki diri, atau apa? Mengapa karakter itu seolah melekat pada dirinya? Tak cukup kah siraman rohani yang diberikan menyentuh hatinya?

Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang