~☆~
Tuhan itu tempat paling baik untuk curhat.
~☆~Addan tiba di depan Masjid Al-Iman lagi. Saat ia tiba, ia melihat Edwin sedang duduk-duduk di bangku yang berada di depan masjid itu. Edwin tampak sedang membaca buku tafsiran.
Addan memperhatikan Edwin dari jarak jauh. Addan tidak homo, tapi perlu Addan akui bahwa paras Edwin sangat ... rupawan. Bukan tanpa sebab Addan memperhatikannya, tetapi Addan tiba-tiba saja teringat percakapan seorang gadis yang membahas Edwin.
"Vin, pokoknya Gus Edwin harus suka sama gue."
"Eh, Addan, lo ngapain ke sini?" tanya Edwin, yang menyadari kehadiran Addan.
"Orang tua gue, bikin bad mood." Terdapat nada gusar dalam jawaban yang diberikan Addan.
"Addan, orang tua kamu kenapa?"
"Mereka enggak seneng kalau gue pulang ke rumah."
"Kok, bisa?"
"Mereka awalnya kaget, karena gue tiba-tiba pulang sebelum waktunya liburan. Terus gue kasih tau kalau gue itu cari alesan ke Ustad, supaya diizinin untuk pulang, dan berujung kabur karena enggak diizinin. Eh, mereka malah bilang kalau gue enggak harusnya cari alesan kayak gitu. Tapi bagian terburuknya bukan itu. Bagian terburuknya ketika orang yang gue sebut sebagai orang tua gue, melontarkan kalimat yang sudah menunjukkan bahwa keberadaan gue sudah tidak diharapkan lagi."
Memori Addan mengingat akan moment yang terjadi di rumah tadi. Perkataan Rama sangat terngiang jelas di telinganya.
"Saya sendiri bahkan sudah kehabisan akal bagaimana dia bisa menetap lama di pesantren. Kalau bisa selama yang dia bisa."
Jika saja masa lalu buruk yang menjadi bayang-bayang Addan dan keluarganya tidak ada, maka Addan akan menganggap ucapan Rama hanya sebatas teguran dari orang tua untuk anaknya. Sayangnya masa lalu itu terlanjur menghantui dengan sebegitu dalamnya.
Dalam keheningan, pikiran Addan kacau. Addan terbelenggu akan rasa bersalah.
Maaf karena telah menjadi pembunuh. Maaf dengan tidak tau dirinya pembunuh ini merindukan kasih sayang yang dulu. Tapi ... pembunuh ini tidak pernah menginginkan menjadi seorang pembunuh, apalagi itu perihal orang yang disayangnya. Itu kecelakaan, tetapi mami dan papi menutup telinga akan fakta itu. Batin Addan berucap dengan rasa bersalah, kerinduan, kehilangan yang bercampur menjadi satu.
Kasih sayang utuh telah direnggut dengan paksa. Kehangatan rumah diganti dengan suasana asing yang tidak Addan kenali. Betapa masa lalu itu telah banyak merubah keadaan. Bahkan, masa lalu itu juga yang membawa Addan ke sebuah pesantren yang tidak pernah Addan inginkan. Membuat Addan berasumsi bahwa pesantren hanyalah tempat bagi anak yang tidak disayang orang tua.
"Kasih sayang mereka udah enggak utuh lagi. Asumsi gue tentang pesantren yang merupakan tempat bagi seseorang yang tidak disayang orang tuanya semakin besar karena mereka." Addan bergumam, tapi masih dapat terdengar oleh Edwin yang berada di sebelahnya.
"Addan, jangan suudzon sama orang tua kamu. Enggak baik, loh. Mungkin tanpa kamu tau, orang tua kamu masukin kamu ke pesantren bukan karena enggak sayang. Kamu salah besar kalo berpikiran pesantren itu untuk tempat anak yang enggak disayang orang tua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)
SpiritualMenceritakan tentang seorang lelaki bernama Addan Alzohri yang harus mendapatkan hukuman dari orang tuanya berupa pergi ke pesantren dengan harapan kelakuannya yang tengil itu dapat berubah. Alih-alih berubah, Addan justru menjadi beranggapan kalau...